Minggu, 29 Maret 2015

METODE PEMAHAMAN HADIS NABI (sebuah pendahuluan untuk memahami Hadis Nabi)

PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah sumber yang pertama yaitu Al-quran. Dengan kata lain hadis dapat berbentuk ucapan, pengalaman, taqrir, serta hal-hal ihwal (penting) dari Nabi Muhammad.[1]
Secara Ontologi, terjadi perbedaan dalam pendefinisian hadis. Beberapa ulama berpendapat bahwa hadis adalah segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi saw meliputi perkataan (qawl), perbuatan, atau ketetapan (taqrir) termasuk sifat khuluqiyah (berkaitan dengan akhlak Nabi) dan khalqiyyah (berkaitan dengan fisik Nabi) baik sebelum diutus menjadi rasul (bi`tsah) maupun sesudah diutus menjadi rasul. Definisi tersebut anut dan diyakini oleh ulama ahli hadis, dengan asumsi bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah, artinya segala sesuatu yang datang berasal dari Nabi layak dijadikan untuk teladan hidup. Sedangkan ulama ushul fiqh berkata lain, tidak semua yang dinisbatkan kepada Nabi saw dapat disebut sebagai hadis. Hadis atau sunnah adalah segala yang keluar dari Nabi, selain Al-quran  baik berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan yang layak dijadikan dalil untuk hukum syar`i. Jadi ucapan dan perbuatan Nabi sebagai manusia biasa, tradisi Arab dan hal yang tidak berkaitan dengan tugas Nabi menyampaikan syari`at tidak dapat dikategorikan sebagai hadis atau sunnah.[2]
Secara Epistimologi, umat Islam secara umum (mayoritas) memandang hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua stelah Al-quran, sebab hadis merupakan penjelasan (bayan) terhadap ayat-ayat Al-quran yang masih global (mujmal), umum (`amm) dan tanpa batasan (mutlaq). Secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum dapat ditetapkan oleh Al-quran.[3]
Makalah ini akan difokuskan pada metode pemahaman hadis Nabi yaitu pertama, sejarah penulisan syarh hadis yang mencakup tentang : masa pembentukan hadis, masa penggalian hadis, masa penghimpunan, masa pendiwanan dan penyusunan,  masa syarh al-hadis. Kedua, yaitu metode pemahaman hadis Nabi secara klasik yang mencakup metode tahlili (analitis), metode ijmali (global), metode muqarin (komparatif).

METODE PEMAHAMAN HADIS NABI
A.  Periodisasi Sejarah Penulisan Syarh Hadis
1.    Masa Pembentukan Al-Hadis
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama tentang kapan terjadinya permulaan hadis. Sebagian berpendapat, hadis Nabi pertama kali muncul yaitu sejak pada masa kenabian. Sifat-sifat luhur Nabi yang terlihat sebelum masa kenabian tetap menjadi panutan. Sedangkan kegiatan Nabi sebelum masa kenabian tidak dicontohkan lagi setelah masa kenabian, serta tidak dapat dijadikan panutan misalnya : kegiatan berkhalwat (al-thahannuth) tidak dipandang lagi sebagai panutan. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadis Nabi terjadi sebelum dan masa kenabian.[4]
Adapun berita tentang perilaku Nabi Muhammad (berupa sabda, perbuatan, sikap) dapat dilihat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan perilaku Nabi pada saat itu. Berita tersebut kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan lagi kepada murid-murid yang disebut tabi`in (satu genarasi di bawah sahabat). Berita itu kemudian disampaikan lagi pada murid-murid dari generasi selanjutnya yaitu para tabi`ut tabi`in  dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadis (mudawwin).[5]
Pada masa Nabi masih hidup, hadis belum ditulis dan cukup berada pada benak sahabat atau hapalan para sabahat. Para sahabat pada masa itu merasa belum ada urgensi (penting) untuk melakukan penulisan dengan alasan Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan tentang keterangan segala sesuatu. Diantara sahabat tidak semua sahabat bergaulnya dengan Nabi, ada yang selalu/sering menyertai ada yang beberapa kali saja bertemu dengan Nabi. Maka Al-hadis yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya maupun jumlahnya serta ketelitian para sahabat dalam meriwayatkan hadis. Diantara para sahabat senantiasa bertukar berita (hadis) sehingga perilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada masa Nabi masih hidup. Dengan demikian para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al-hadis yang telah diamalkan oleh umat Islam pada masa itu (masa Nabi masih hidup) oleh ahli hadis disebut sunnah muttaba`ah marfu`ah. Itulah yang disebut setinggi-tingginya kekuatan kebenaran al-hadis.
Pada masa ini belum ada pembukuan hadis, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadi, diantaranya adalah :
a.    Abdullah bin Umar bin Ash (dalam himpunan Ash-Shadiqah)
b.    Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai hukum-hukum diyat, yaitu soal denda dan ganti rugi)
Menurut Nizal Ali dalam disertasinya yang berjudul “Kontribusi imam Nawawi dalam penulisan syarh hadis, tahun 2007” mengungkapkan bahwa metode yang digunakan Nabi dalam menyebarluaskan hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga model yaitu : pengajaran atau penuturan secara verbal, pengajaran tertulis (dikte kepada para ahli), demonstrasi secara praktek.[6]

2.    Masa Penggalian
Tahun 11 H/632 M setelah Nabi wafat, awalnya tidak terjadi permasalahan mengenai al-hadis karena jumlah sahabat masih sangat besar dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan atau solusi baik mengenai al-hadis maupun al-quran.[7]
Masa kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13-23 H atau 634-644 M) wilayah dakwah dan daulah Islamiyah meluas hingga ke jazirah Arab, maka mulailah timbul berbagai permasalahan baru khususnya pada daerah-daerah baru yang memerlukan pemecahan atas permasalahan yang terjadi. Meski para sahabat jumlahnya tersebar dan mulai berkurang, namun usaha untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut mendorong sahabat saling bertemu untuk bertukar hadis.
Para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian hadis dari sumbernya yaitu para sahabat. Sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi`in. Kendatipun memerlukan perjalanan jauh umtuk memeproleh hadis yang sangat diperlukan. Para tabi`in mulai banyak memiliki al-hadis yang diterima dan digali dari sumber yaitu dari para sahabat, sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah hadis yang belum ditulis ataupun dibukukan.[8]
3.    Masa Penghimpunan
Pada masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib terjadi permusuhan diantara sebagian umat Islam yang mengorbankan jiwa serta harta. Pihak-pihak yang berseteru semula hanya berebut kedudukan kekhalifahan bergeser kepada bidang syari`at dan aqidah dengan membuat hadis maudhu` (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung sebagai legitimasi keinginan atau perjuangan mereka yang saling berseteru.
Untungnya mereka yang saling berseteru tidak mungkin memalsukan Al-quran, sebab sudah dibukukan dan tidak sedikit yang sudah hafal. Hanya saja mereka memberikan tafsir Al-quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya. Keadaan semakin terpuruk saat khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H/681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup, terutama para tabi`in lantas mengambil sikap tidak mau menrima lagi hadis yang baru, yaitu yang sebelumnya yang tidak mereka miliki. Jika menerima mereka para sahabat sangat berhati-hati sekali. Diteliti dahulu siapa yang yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka tahu siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan pada masa itu.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99-101 H/717-720 M) termasuk angkatan tabi`in yang memiliki jasa besar dalam penghimpunan al-hadis. Para kepala daerah diutus untuk menghimpun al-hadis dari para tabi`in yang terkenal memiliki banyak hadis, seorang tabi`in yang terkenal saat itu adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az-Zuhri (51-124H/671-742 M) yang melaksanakan tugas menghimpun hadis. Az-Zuhri bersemboyan “al-isnad minad-diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a” (sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja). Para ahli juga menyatakan bahwa beliau telah menyelamatkan 90 al-hadis yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan hadis dalam kitab-kitab masa abad II Hijriyah adalah bahwa al-hadis tersebut belum dipisahkan mana yang marfu` dan mana yang maqthu`.

Dilokasi lain juga ada penghimpunan hadis juga pada masa ini, antara lain, dapat dipaparkan sebagai berikut [9]:
No
Lokasi Penghimpunan Hadis
Nama Penghimpun Hadis
Tahun Penghimpunan Hadis
1
Mekkah
Ibnu Juraid
Tahun 80-150 H / 699-767 M
2
Madinah
Ibnu Ishaq
Wafat tahun 150 H / 767 M
3
Madinah
Sa`id bin Arubah
Wafat tahun 156 H / 773 M
4
Madinah
Malik bin Anas
tahun 93-179 H / 712-798 M
5
Madinah
Rabi`in bin Shabih
Wafat tahun 160 H / 777 M
6
Yaman
Ma`mar Al-Ardi
Wafat tahun 152 H / 786 M
7
Syam
Abu `Amar Al-Auzai
 Tahun 88-157 H / 707-773 M
8
Kufah
Sufyan Ats-Tsauri
Wafat 161 H / 778 M
9
Bashrah
Hammad bin Salamah
Wafat tahun 167 H / 773 M
10
Khurasan
Abdullah bin Mubarak
Tahun 117-181 H / 735-798 M
11
Wasith (Irak)
Hasyim
Tahun 95-153 H/ 713-770 M

4.    Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Pendiwanan yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku yang disebut pendiwan. Penyusunan al-hadis dilaksanakan pada masa abad ke 3 H, langkah utama yang dilakukan adalah dengan pengelompokan hadis, dengan mengelompokkan hadis yang marfu`, mauquf dan maqthu`.  Hadis marfu` merupakan hadis yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadis mauquf, hadis yang berisi perilaku sahabat, dan hadis yang maqthu`adalah hadis yang berisi perilaku tabi`in. Pengelompokan hadis tersebut dilakukan oleh : Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Musa Al-Abasi Al-Kufi, Musaddad Al-Bashri, Nu`am bin Hammad Al-Khuza`i, Ustman bin Abi Syu`bah.
Perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) adalah telah diusahakannya untuk memisahkan al-hadis yang shahih dan tidak shahih sehingga tersusun tiga macam hadis :
1)        Kitab Shahih yaitu shahih Bukhori dan Muslim, yang berisi hadis yang shahih saja.
2)        Kitab Sunan (Ibnu Majah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Ad-Damiri) yang menurut sebagian ulama` selain sunan Ibnu Majah berisi al-hadis shahih dan dha`if yang tidak munkar.
3)        Kitab Musnad (Abu Ya`la, Al-Humaidi, Ali Madani, Al-Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan, ini hanya berguna bagi para ahli hadis untuk bahan perbandingan.[10]
5.     Masa Syarh Al-Hadis
Pada abad ke 4 hijriyah seluruh hadis sudah terhimpun, yaitu kitab-kitab hadis yang utama, kemudian para ulama yang datang sesudahnya hanya merujuk kitab-kitab hadis yang sudah ada. Kegiatan para ulama pada masa ini lebih fokus pada memelihara dan mengembangkan hadis dengan mempelajarinya, menghafal, memeriksa, menyelidiki sanad-sanadnya dan memebrikan komentar atau penjelasan terhadap kitab-kitab hadis tersebut (mensyarah atau mengulas) isi hadis.
Pada masa ini banyak pensyarah hadis yang lahir diantaranya kitab-kitab pensyarah shahih al-Bukhari misalnya : Al-Kawakib Al-Darari fi Syarh Al-Shahih Al-Bukhari yang disusun oleh Al-Allamah Syamsuddin Muhammad bin Yusuf Al-Kirmani, Fath Al-Bari Bi Syarh Al-Shahih Al-Bukhari yang ditulis oleh Ibnu Hajar Al-Asqlani (817-842 Hijriyah). Kitab syarh sunan Muslim, misalnya : Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, sunan Ibnu Majah antara lain : Al-Dibajah terdiri dari lima mujallad dikerjakan oleh Muhammad bin Musa Al-Dimyari (wafat 808 H), Misbah Al-Zujajah `ala Sunani Ibni Majah disusun oleh Jalaludin Al-Sayuti (wafat 911 H). Sunan Al-Musthafa wa Kifayah Al-Hajah fi Syarhi Ibnu Majah, disusun oleh ulama Madinah bernama Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Hadi Al-Sindi (wafat 1138 M), dari beliau sunan Ibnu Majah menjadi populer dengan sunan Musthafa, dan Inhajul hajah, buah karya waliyullah Al-Dihlawi (wafat 1176 H).
Adapun latar belakang periode pensyarah hadis dipengaruhi tumbuhnya periode madzhab itu sendiri, pertumbuhan dan perkembangan madzhab melalui para pengikut tokoh madzhab yang disebut imam madzhab. Para pengikut madzhab mulanya masih memiliki sisa keratifitas dan keberanian intelektual menghasilkan karya sendiri dengan tingkat orisionalitas yang memadai.[11]
B.  Metodologi Pemahaman Hadis Nabi
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos” yang berarti jalan atau cara. Dalam bahasa Inggris kata ini dilutis method, sedangkan bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia metode memiliki arti cara teratur yang digunakan untuk melasanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[12] Metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam KBBI diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[13]
Pemahaman (syarh), kata syarh berasal dari bahasa Arab yaitu  syaraha-yasruhu-syarhan yang artinya menerangkan, membukakan, melapangkan.[14] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir untuk kajian Al-quran. Dengan kata lain, keduanya sama-sama (menjelaskan maksud, arti, pesan), namun secara istilah keduanya berbeda. Tafsir, spesifik bagi Al-quran (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan ayat-ayat Al-quran), istilah syarh (syarah) meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan hadis) dan ilmu lainnya.[15] Metodologi pemahaman (syarh) hadis adalah ilmu tentang metode memahami hadis. Sehingga dapat dibedakan bahwa metode syarh hadis : cara-cara memahami hadis, sedangkan metodologi syarh ilmu tentang cara memahami hadis tersebut. Metode yang digunakan dalam pensyarahan hadis ada tiga yaitu metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin. Adapun untuk melihat kitab dari bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bil al-ma`sur dan syarh bi al-ra`yi. Untuk menganalisis corak-corak kitab digunakan teori kategorisasi dalam bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lughawi.[16]
Pemahaman hadis merupakan bagian dari kritik matan, kritik matan merupakan bagian dari kritik hadis. Kritik hadis atau naqd al-hadis atau penelitian hadis Nabi terdiri dari kritik sanad atau al-naqd al-kharijil (kritik ekstern) dan kritik matan atau al-naqd al-dakhili (kritik intern). Dibandingkan kritik sanad, kritik matan memiliki kesulitan yang lebih besar. Menurut Shalah Al-Din Al-Adlabi menyatakan bahwa kesulitan dalam kritik matan disebabkan pada beberapa faktor yaitu : 1) langkanya kitab-kitab yang membahas kritik matan dan metodenya, 2) pembahasan matan hadis pada kitab-kitab tertentu termuat di berbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara khusus, dan 3) adanya keraguan di kalangan ahli hadis untuk mengklaim sesuatu sebagai bukan hadis padahal hadis, demikian juga sebaliknya.[17]
Aliran-aliran pemahaman hadis, dalam memahami hadis Nabi secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadis disebut Ahl Al-Hadis, tekstualitas (2) kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada di belakang teks disebut Ahl-Al-Ra`yi.[18]
Ahl Al-Hadis, telah muncul sejak masa genarasi sahabat, dengan berbagai persoalan kehidupan yang belum kompleks. Kelompok ini berpegang pada arti lahiriyah nash, karena dalam pandangan mereka kebenaran Al-quran bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio adalah nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak mungkin dapat menjelaskan sesuatu yang mutlak. Mereka dijuluki dengan Ahl Al-Hasyw artinya enggan menggunakan akal. Mereka juga mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada di sekeliling teks. Dalam kultur yang masih relatif dekat dengan Nabi, dampaknya belum begitu terlihat, sebab perubahan yang signifikan dalam budaya dan gesekan antara kebudayaan lokal dan luar belum terlalu terasa. Namun ketika hadis telah melintasi banyak generasi dan lintas kultural serta berhadapan dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan berimbas pada semakin kompleksnya persoalan kehidupan.[19]
Ahl Al-Ra`yi, memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada nash Al-quran dan Al-hadis. Tidak jarang mereka mengorbankan hadis ahad yang bertentangan dengan Al-quran. Kelompok ini mempertahankan akal dalam mengembangkan konsep-konsep seperti mashlahah dan istihsan, serta mengutamakan qiyas dari pada teks-teks yang bersifat hipotetik.karena qiyas  menurut mereka didasarkan pada qarinah  dan hukum-hukum kulliyah (universal), yang kemudian disebut dengan tujuan umum (maqashid al-syari`ah).[20]
C.  Metode-Metode Pemahaman (syarh) Hadis
1.    Metode Tahlili (Analitis)
Metode tahlili yaitu metode yang menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan kencenderengan dan keahlian pensyarah hadis. Pengertian tersebut sesuai dengan buku karangan Abd Al-Hay Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu`i sebagaimana yang dikutip oleh Nizar Ali dalam bukunya yang berjudul Metode Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatannya.[21]
Kemasan penyajian penjelasan atau komentar seorang pensyarh hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat pada sebuah kitab hadis yang dikenal dengan al-kutub al-sittah. Pensyarah hadis memulai penjelasan dengan kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian mencakup berbagai aspek yang terkandung dalam hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (asababul wurud) jika ditemukan, kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut baik yang berasal dari sahabat, tabi`in, maupun para ulama hadis.
Adapun kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahili adalah “Fath Al-Bari Bi Syarah Sahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Irsyad Al-Sari Li Syarah Sahih Al-Bukhari karya Ibnu Al-Abbas Syihab Al-Din Ahmad bin Muhammad Al-Qastalani, Al-Kawakib Al-Darari Fi Syarh Sahih Al-Bukhari karya Syams Al-Din Muhammad bin Yusuf Ali Al-Kirmani, Syarh Al-Zarqani `Ala Muwatta` Al-Imam Malik karya Muhammad bin Abd Al-Baqi bin Yusuf Al-Zaeqani, dan kitab lainnya.”
Ciri khusus dari metode tahlili, pensyarhan yang mengikuti metode tahlili dapat berbentuk riwayat (ma`sur) dan pemikiran rasional (ra`y). Syarh yang berbentuk ma`sur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi`in, tabi`al-tabi`in atau ulama hadis dalam penjelasan terhadap hadis yang disyarahi. Syarh yang berbentuk ra`y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya. Jika kitab-kitab syarh yang menggunakan metode tahlili baik yang berbentuk ma`sur atau ra`y dicermati maka pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.[22]
Dalam melakukan pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan tentang asbab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis), dari hadis yang dipahami jika hadis yang disyarahi tersebut memiliki asbab al-wurud. Juga diuraikan pemahaman yang pernah disampaikn oleh sahabat, tabi`in, tabi`at-tabi`in dan para ahli hadis lainnya dari berbagai displin ilmu seperti teologi, fiqh, bahasa, sastra dan sebagainya, juga dijelaskan munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lainnya, terkadang syarh yang menggunakan metode ini diwarnai dengan kecenderungan dan keberpihakan pensyarh pada salah satu madzhab.[23]Adapun kelebihan dan kekurangan dari metode tahlili sebagai berikut :
a.    Kelebihan, (1) ruang lingkup pembahasan yang sangat luas, karena mencakup berbagai aspek yaitu : kata, frase, kalimat, asbab al-wurud, munasabah, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk yang ma`thur. (2) memuat berbagai ide dan gagasan, syarh yang menggunakan metode analitis akan memberikan kesempatan kepada pensyarh hadis untuk menuangkan sebanyak mungkin ide dan gagasan yang dikemukakan oleh ulama.
b.    Kekurangan, (1) menjadikan petunjuk hadis parsial, menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah sehingga seolah-olah hadis tidak konsisten karena syarh yang diberikan pada sebuah hadis berbeda dari syarh yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya. (2) melahirkan syarh yang subyektif, kitab syah yang menggunakan metode analitis, terkadang pensyarh tidak menyadari bahwa ia mensyarh hadis secara subyektif dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang mensyarh sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku.[24]
Contoh dari metode tahlili dalam kitab syarah hadis Fath Al-Bari Bi Syarah Sahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرنـي محمّد ابن إبراهيم التيمي أنه سمع علقة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الـمنبر قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّميقول إنّما الأعمال بالنّيات و إنّما لكلّ امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه.
قوله حدثنا (الحميدي (هو أبو بكر(عبد الله بن الزبير) بن عيسى منسوب إلى حميد بن أسامة بطن من بني أسد بن عبد العزى بن قصي رهط خديجة زوج النّبي صلّى الله عليه و سلّم يجتمع معها في أسد ويجتمع مع النّبي صلّى الله عليه وسلّم في قصي وهو إمام كبير مصنف رافق الشافعي في الطلب عن بن عيينة وطبقته و أخذ عنه الفقه و رحل معه إلى مصر ورجع بعد وفاته ‘لى مكة ‘لى أن مات بها سنة تسع عشرة و مائتين فكأن البخاري امتثل قوله صلّى الله عليه و سلّم قدموا قريشا فافتتح كتابه بالرواية عن الحميدي لكونه أفقه قرشي أخذ عنه و له مناسبة أخرى لأنه مكي كشيخه فناسب أن يذكر في أول ترجمة بدء الوحي لأن ابتداءه كان بمكة ومن  ثم ثنى بالرواية عن مالك لأنه شيخ أهل المدينة وهي تالية لمكة في نزول الوحي و في جميع الفضل و مالك و ابن عيينة قرينان قال الشّافعي لولاهما لذهب العلم من الحجاز قوله (حدثنا سفيان) هو ابن عيينة بن أبي عمران الهلالي أبو محمد المكي أصله و مولده الكوفة و قد شارك مالكا في كثير من شيوخه و عاش بعده عشرين سنة وكان يذكر أنه سمع من سبعين من التّابعين قوله (عن يحي بن سعيد) حدثنا يحي بن سعيد (الأنصاري) اسم جده قيس بن عمرو و هو صحابي و يحي من صغار التّابعين و شيخه(محمد بن إبراهيم) بن الحارث بن خالد (التيمي) من أوساط التّابعين...والله اعلم.

Dari kutipan syarah di atas dapat diketahui bahwa dalam menerangkan hadis, pensyarah mengemukakan analisis tentang periwayat (rawi)  sesuai dengan urutan sanad, sabab al-wurud, juga menyajikan hadis-hadis lain yang berhubungan dengan hadis tersebut, bahkan ayat Al-quran yang berkenaan dengan hadis. Pensyarah menggunakan riwayat riwayat dari para ulama. Syarah banyak didominasi oleh pendapat mereka, sehingga dari uraian yang demikian panjang, pendapat dari pensyarah hampir-hampir tidak diketemukan. Selain itu juga, disajikan penjelasan kosa kata yang terdapat didalamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun syarah yang memakai metode analitis ini mengandung uraian yanglebih rinci, namun karena berbentuk al-ma’sur , pendapat dari pensyarah tetap sukar ditemukan. Inilah salah satu ciri utama yang membedakan secara mencolok dengan syarh bi al-ra’yi.
2.    Metode Ijmali (Global)
Metode Ijmali yaitu menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-kutub al-sittah secara ringkas tetapi dapat merepresentasikan makna literasi hadis dengan bahasa yang mudah dipahami.
Dengan demikian, dari sistematika pensyarahan tidak berbeda dengan syarh tahlili yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis. Selain itu dengan gaya juga tidak jauh berbeda dengan gaya bahasa yang digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang tidak mengetahui benar redaksi matan yang disyarahnya, kadang  tidak dapat memilah mana yang hadis dan mana yang syarh­nya.[25]Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode ijmali diantaranya : Syarh Al-Suyuti Li Sunan Al-Nasai karya Jalal Al-Din Al-Suyuti, Qut Al-mughtazi `Ala Jami` Al-Turmudzi karya Jalal Al-Din Al-Suyuti, `Aun Al-Ma`bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin `Ali Haidar Al-Siddiqi Al-Azim Abadi, dan lain-lain.
Ciri metode ijmali adalah pensyarh langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Dalam metode ijmali, pensyarh tidak memiliki kebebasan atau tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Penjelasan umum dan ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab syarh dengan metode ijmali. Namun penjelsan terhadap hadis-hadis tertentu diberikan agak luas, akan tetapi tidak seluas metode tahlili.[26] Kelebihan dan kekeurangan metode pensyarh hadis dengan metode ijmali (global) sebagai berikut :
a.    Kelebihan, (1) ringkas dan padat, syarh yang menggunakan metode ijmali lebih praktis dan singkat sehingga pembacanya cepat paham. Pola syarh dengan metode ini sangat berguna untuk orang yang ingin memperoleh pemahaman hadis dalam waktu yang relatif singkat. (2) bahasa mudah, dengan bahasa yang mudah sehingga mudah dipahami selain bahasa yang digunakan singkat dan padat, pemahaman terhadap kosa kata yang terdapat pada hadis mudah didapatkan, sebab pensyarh langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.
b.    Kekurangan, (1) menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial, metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain. (2) tidak ada runang untuk mengemukakan analisis yang memadai, sebab tidak menyediakan ruang dengan wacana pluralitas pemahaman suatu hadis, metode global tidak dapat diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara detail dan rinci.[27]

Dalam kitab syarah hadis ’Aun al-Ma’bud Syarh} Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin ’Ali Haidar Al-Siddiqi al-’Azim Abadi sebagai berikut:
(غسل يوم الجمعة واجب) قال الخطابي معناه وجوب الاختيار و الاستحباب دون وجوب الفرض كما يقول الرجل لصاحبه حقك علي واجب وأنا أوجب حقك و ليس ذلك بمعنى اللزوم و الذي لا يسع غيره ويشهد لصحة هذا التأويل حديث عمر الذي تقدم ذكره انتهىز قال ابن دقيق العيد في شرح عمدة الأحكام ذهب الأكثرون إلى استحباب غسل الجمعة و هم محتاجون إلى الأعتذار عن مخالفة هذا الظاهر وقد أولوا صيغة الأمر عل الندب و صيغة الوجوب على التأكيد كمايقال إكراماك على واجب وهو تأويل ضعيف إنما يصار إليه إذا كان المعارض راجحا على هذا الظاهر وأقوى ماعارضوابه هذا الظاهر حديث من توضأ يوم الجمعة فيها ونعمت ومن اغتسل فالغسل أفضل ولايعارض سنده سند هذه الأحادث انتهى (على كل محتلم) أي بالغ وإنما ذكر الإحتلام لكونه الغالب وتفسيره بالبالغ مجاز لأن الإحتلام يستلزم البلوغ والقرينة الماسة عن الحمل على الحقيقة أن الإحتلام إذا كان معه انزال موجب للغسل سواء كان يوم الجمعة أم لا. ذكره الزرقاني قال المنذري و أخرجه البخاري و مسلم والنسائي وابن ماجه.
3.    Metode Muqarin (Komparatif)
Metode Muqarin yaitu metode memahami hadis dengan cara : (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. Dengan kata lain, memahami hadis dengan menggunakan metode muqarin ini mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain, melainkan juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam menyarah suatu hadis. Kitab hadis yang menggunakan metode muqarin adalah Sahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi karya Imam Nawawi, umdah Al-Qari Syarh Sahih Al-Bukhori karya Badr-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Al-Aini dan lainnya.
Ciri-ciri Metode Muqarin, ciri utama metode muqarin adalah perbandingan. Disini adalah letak perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode lain. Kajian perbandingan dalam syarh hadis yang menggunakan metode ini, tidak terbatas pada perbandingan analisis redaksional, melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan. Pensyarh harus meninjau berbagai aspek seperti latar belakang munculnya hadis (asbab al-wurud al-hadis) tidak sama, pemakaian kata dan susunannya dalam hadis berlainan, dan konteks masing-masing hadis.[28]
Penjelasan syarh dengan metode muqarin, dimulai dengan menjelaskan pemakaian kosa kata (mufradat), urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Jika yang diperbandingkan adalah kemiripan redaksi langkah yang dapat ditempuh adalah : (1) mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya mirip, (2) membandingkan antara hadis yang redaksinya mirip itu, yang membicarakan satu kasus yang sama atau kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama, (3) menganalisis perbedaan yang terkandung dalam berbagai redaksi yang mirip baik perbedaan tersebut mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, (4) membandingkan antara berbagai pendapat para pensyarh hadis yang dijadikan obyek bahasan.[29] Kelebihan dan kekurangan metode syarh hadis dengan menggunakan metode muqarin sebagai berikut :
a.    Kelebihan, memberikan wawasan pemahaman yang lebih luas kepada para pembaca dibandingkan dengan metode lain, membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi, pemahaman dengan metode ini berguna bagi yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis, pensyarh terdorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat para pensyarh lainnya.
b.    Kekurangan, metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula dikarenakan pembahasan terlalu luas, metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang di tengah masyarakat sebab pensyarh lebih mengedepankan perbandingan dari pemecahan masalah, terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.[30]
Salah satu kitab yang menggunakan Syarh muqarin adalah Umdah al-Qari Syarh S}ahih al-Bukharkarya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini.
قد حصل من الطرق المذكورة أربعة ألفاظ "إنما الأعمال بالنيات" و" الأعمال بالنية" و "العمل بالنية" وادعى النووي في تلخيصه قلتـهاز والرابع "إنـما الأعمال بالنية" وأورده القضاعي في الشهاب بلفظ "الأعمال بالنيات" بحذف "إنما" و الحافظ أبو موسى الأصبـهاني: لا يصح إسنادها,وإقره النووي على ذلك في تلخيصه وغيره,وهو غريب منهما,وهي رواية صحيحة أخرجها ابن حبان في صحيحه...و أورده الرافعي في شرحه الكبير بلفظ آخر غريب وهو "ليس للمرء من عمله إلا نواه"....وفي البيهقي في حديث آخر مرفوعا"لا عمل لـمن لا نية له....لكن اسناده جهالة.
....الأول: احتجت الأئمة الثلاثـة في وجوب النية في الوضوء والغسل فقالوا: التقدير فيه صحة الأعمال بالنيات والألف و اللام فيه لاستغراق الجنس,فيدخل فيه جميع الأعمال من الصوم و الصلاة و الزكاة و الوضوء...ومن الثاني أن النيات إنما تكون مقبولة إذا كانت مقرونـة بالإخلاص انتهي. وذهب أبو حنيفـة و أبو يوسف و محمد و زفر والنواوي والأوزاعي و الحسن بن حي ومالك في رواية إلى أن الوضوء لا يحتاج إلى نية,وكذلك الغسل. و زاد الأوزعي و الحسن التيمم.وقال عطاء ومجاهد: لا يحتاج صيام رمضان إلى نية إلا أنيكون مسافرا أو مريضا...
...الثاني احتجت به أبو حنيفة و مالك وأحمد في أن من أحرم بالحج في غير أشهر الحج أنه لا ينعقد عمرة لأنـه لم ينوها فإنما له مانواه,وهو أحد أقوال الشافعي,إلا أن الأئمة الثلاثة قالوا: ينعقد إحرامه بالحج ولكنـه يكره,ولم يخـتلف قول الشافعي أنـه لا ينعقد بالحج...
...الثالث: احتجت به مالك في اكتفائه بنية واحدة في أول شهر رمضان...


KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Sejarah periodisasi syarh hadis meliputi : masa pembentukan al-hadis, masa panggalian, masa penghimpunan, masa pendiwanan dan penyusunan, yang terakhir masa syarh hadis.
Metode syarh hadis adalah cara yang digunakan untuk memahami hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan hadis), pemahaman hadis merupakan bagian dari kritik matan, kritik matan merupakan bagian dari kritik hadis. Kritik hadis atau naqd al-hadis atau penelitian hadis Nabi terdiri dari kritik sanad atau al-naqd al-kharijil (kritik ekstern) dan kritik matan atau al-naqd al-dakhili (kritik intern).
Metode yang digunakan dalam memahami hadis yaitu : (a) metode tahlili (analitis), kelebihannya : ruang lingkup pembahasan yang luas, memuat berbagai ide gagasan, kekurangannya: menjadikan petunjuk hadis parsial, melahirkan syarh yang subyektif, (b) metode ijmali (global), kelebihan: ringkas dan padat, bahasa mudah dipahami, kekurangannya: petunjuk hadis bersifat parsial, tidak ada ruang untuk mengemukakan analisi yang memadai dan (c) metode muqarin (komparatif), kelebihan: memberikan wawasan realtif luas pda para pembaca, membuka pintu untuk bersikap toleransi, berguna bagi yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang hadis, pensyarh terdorong untuk mengkaji berbagai hadis, kekurangan: tidak relevan untuk pembaca pemula, tidak dapat menjawab permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan ulama dari pada mengemukakan pendapat baru.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, dkk., Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Memahami Hadis, Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatan, Yogyakarta : CESaD YPI Al-Rahmah, 2001.
Khamdan, dkk., Studi Hadis Teori dan Metodologi : Kritik Terhadap Hadis-Hadis Pendidikan, Pengantar Nizar Ali, Yogyakarta : Idea Press, 2012.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta : Teras, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Jakarta : Balai Pustaka. Cetakan Ketiga, edisi III, 2005.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-quran, 1973.




[1] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta : CESaD YPI Al-Rahmah, 2001), hal. 1.
[2] Abdul Mustaqim, dkk., Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), hal. 2-3.
[3] Ibid, hal. 4.
[4] Khamdan, dkk., Studi Hadis Teori dan Metodologi : Kritik Terhadap Hadis-Hadis Pendidikan, Pengantar Nizar Ali, (Yogyakarta : Idea Press, 2012) hal. 65.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 66.
[7] Ibid, hal. 67.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hal. 68.
[10] Ibid, hal. 70.
[11] Ibid, hal. 71-72.
[12] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta : Balai Pustaka. Cetakan Ketiga, edisi III, 2005), hal. 740.
[13] Ibid. Hal. 741.
[14]  Lihat pada Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, 1973).
[15] Khamdan, dkk., Studi Hadis..., hal. 73.
[16] Selengkapnya lihat pada Nizar Ali, (Ringkasan Disertasi), Kontribusai Imam Nawawi Dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), hal. 4.
[17] Shalah Al-Din Al-Adlabi, Manhaj Nadq Al-Hadis (Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadilah, 1403 H/1983), hal. 20-23 yang dikutip oleh Suryadi dalam bukunya yang berjudul, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta : Teras, 2008), hal. 69.
[18]  Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta : Teras, 2008), hal. 73.
[19] Ibid, hal. 74.
[20] Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi`i : Modernisme, Elektisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta : LkiS, 1997), hal. 48-51.
[21] Nizar Ali, Metode Memahami Hadis Nabi..., hal. 29
[22] Ibid, hal. 30.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hal. 38-39.
[25] Ibid, hal. 42.
[26] Ibid, hal. 43.
[27] Ibid, hal. 44-46.
[28] Ibid, hal. 47.
[29] Ibid, hal. 49.
[30] Ibid, 51-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar