PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua
setelah sumber yang pertama yaitu Al-quran. Dengan kata lain hadis dapat
berbentuk ucapan, pengalaman, taqrir, serta hal-hal ihwal (penting) dari
Nabi Muhammad.[1]
Secara Ontologi, terjadi perbedaan dalam
pendefinisian hadis. Beberapa ulama berpendapat bahwa hadis adalah segala
sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi saw meliputi perkataan (qawl),
perbuatan, atau ketetapan (taqrir) termasuk sifat khuluqiyah (berkaitan
dengan akhlak Nabi) dan khalqiyyah (berkaitan dengan fisik Nabi) baik
sebelum diutus menjadi rasul (bi`tsah) maupun sesudah diutus menjadi
rasul. Definisi tersebut anut dan diyakini oleh ulama ahli hadis, dengan asumsi
bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah, artinya segala sesuatu yang
datang berasal dari Nabi layak dijadikan untuk teladan hidup. Sedangkan ulama
ushul fiqh berkata lain, tidak semua yang dinisbatkan kepada Nabi saw dapat
disebut sebagai hadis. Hadis atau sunnah adalah segala yang keluar dari Nabi,
selain Al-quran baik berupa ucapan,
perbuatan atau ketetapan yang layak dijadikan dalil untuk hukum syar`i. Jadi
ucapan dan perbuatan Nabi sebagai manusia biasa, tradisi Arab dan hal yang
tidak berkaitan dengan tugas Nabi menyampaikan syari`at tidak dapat
dikategorikan sebagai hadis atau sunnah.[2]
Secara Epistimologi, umat Islam secara umum (mayoritas)
memandang hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua stelah Al-quran, sebab
hadis merupakan penjelasan (bayan) terhadap ayat-ayat Al-quran yang
masih global (mujmal), umum (`amm) dan tanpa batasan (mutlaq).
Secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu
hukum yang belum dapat ditetapkan oleh Al-quran.[3]
Makalah ini akan difokuskan pada metode
pemahaman hadis Nabi yaitu pertama, sejarah penulisan syarh hadis
yang mencakup tentang : masa pembentukan hadis, masa penggalian hadis, masa
penghimpunan, masa pendiwanan dan penyusunan,
masa syarh al-hadis. Kedua, yaitu metode pemahaman hadis
Nabi secara klasik yang mencakup metode tahlili (analitis), metode ijmali
(global), metode muqarin (komparatif).
METODE PEMAHAMAN HADIS NABI
A. Periodisasi Sejarah
Penulisan Syarh Hadis
1. Masa Pembentukan Al-Hadis
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama tentang kapan terjadinya
permulaan hadis. Sebagian berpendapat, hadis Nabi pertama kali muncul yaitu
sejak pada masa kenabian. Sifat-sifat luhur Nabi yang terlihat sebelum masa
kenabian tetap menjadi panutan. Sedangkan kegiatan Nabi sebelum masa kenabian
tidak dicontohkan lagi setelah masa kenabian, serta tidak dapat dijadikan
panutan misalnya : kegiatan berkhalwat (al-thahannuth) tidak dipandang
lagi sebagai panutan. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadis Nabi
terjadi sebelum dan masa kenabian.[4]
Adapun berita tentang perilaku Nabi Muhammad (berupa sabda, perbuatan,
sikap) dapat dilihat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau
menyaksikan perilaku Nabi pada saat itu. Berita tersebut kemudian disampaikan
kepada sahabat yang lain kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan.
Kemudian berita itu disampaikan lagi kepada murid-murid yang disebut tabi`in
(satu genarasi di bawah sahabat). Berita itu kemudian disampaikan lagi pada
murid-murid dari generasi selanjutnya yaitu para tabi`ut tabi`in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku
hadis (mudawwin).[5]
Pada masa Nabi masih hidup, hadis belum ditulis dan cukup berada pada benak
sahabat atau hapalan para sabahat. Para sahabat pada masa itu merasa belum ada
urgensi (penting) untuk melakukan penulisan dengan alasan Nabi masih mudah
dihubungi untuk dimintai keterangan tentang keterangan segala sesuatu. Diantara
sahabat tidak semua sahabat bergaulnya dengan Nabi, ada yang selalu/sering
menyertai ada yang beberapa kali saja bertemu dengan Nabi. Maka Al-hadis yang
dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya maupun jumlahnya serta
ketelitian para sahabat dalam meriwayatkan hadis. Diantara para sahabat
senantiasa bertukar berita (hadis) sehingga perilaku Nabi Muhammad banyak yang
diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada
masa Nabi masih hidup. Dengan demikian para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan
yang berlarut-larut. Al-hadis yang telah diamalkan oleh umat Islam pada masa
itu (masa Nabi masih hidup) oleh ahli hadis disebut sunnah muttaba`ah
marfu`ah. Itulah yang disebut setinggi-tingginya kekuatan kebenaran
al-hadis.
Pada masa ini belum ada pembukuan hadis, namun ada sahabat yang
menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadi, diantaranya adalah :
a. Abdullah bin Umar bin Ash (dalam himpunan
Ash-Shadiqah)
b. Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai
hukum-hukum diyat, yaitu soal denda dan ganti rugi)
Menurut Nizal Ali dalam disertasinya yang berjudul “Kontribusi imam Nawawi
dalam penulisan syarh hadis, tahun 2007” mengungkapkan bahwa metode yang
digunakan Nabi dalam menyebarluaskan hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga
model yaitu : pengajaran atau penuturan secara verbal, pengajaran tertulis
(dikte kepada para ahli), demonstrasi secara praktek.[6]
2. Masa Penggalian
Tahun 11 H/632 M setelah Nabi wafat, awalnya tidak terjadi permasalahan
mengenai al-hadis karena jumlah sahabat masih sangat besar dan seakan-akan
menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang
memerlukan pemecahan atau solusi baik mengenai al-hadis maupun al-quran.[7]
Masa kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13-23 H atau 634-644 M) wilayah
dakwah dan daulah Islamiyah meluas hingga ke jazirah Arab, maka mulailah timbul
berbagai permasalahan baru khususnya pada daerah-daerah baru yang memerlukan
pemecahan atas permasalahan yang terjadi. Meski para sahabat jumlahnya tersebar
dan mulai berkurang, namun usaha untuk memecahkan berbagai masalah baru
tersebut mendorong sahabat saling bertemu untuk bertukar hadis.
Para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian hadis dari
sumbernya yaitu para sahabat. Sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para
sahabat kecil terutama para tabi`in. Kendatipun memerlukan perjalanan jauh umtuk
memeproleh hadis yang sangat diperlukan. Para tabi`in mulai banyak memiliki
al-hadis yang diterima dan digali dari sumber yaitu dari para sahabat,
sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah hadis yang belum ditulis ataupun
dibukukan.[8]
3. Masa Penghimpunan
Pada masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib terjadi permusuhan diantara
sebagian umat Islam yang mengorbankan jiwa serta harta. Pihak-pihak yang
berseteru semula hanya berebut kedudukan kekhalifahan bergeser kepada bidang syari`at
dan aqidah dengan membuat hadis maudhu` (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak
tanggung-tanggung sebagai legitimasi keinginan atau perjuangan mereka yang
saling berseteru.
Untungnya mereka yang saling berseteru tidak mungkin memalsukan Al-quran,
sebab sudah dibukukan dan tidak sedikit yang sudah hafal. Hanya saja mereka
memberikan tafsir Al-quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan semakin terpuruk saat khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala
(tahun 61 H/681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup, terutama para tabi`in
lantas mengambil sikap tidak mau menrima lagi hadis yang baru, yaitu yang
sebelumnya yang tidak mereka miliki. Jika menerima mereka para sahabat sangat
berhati-hati sekali. Diteliti dahulu siapa yang yang menjadi sumber dan siapa
yang membawakannya. Sebab mereka tahu siapa yang melibatkan diri atau terlibat
dalam persengketaan dan permusuhan pada masa itu.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99-101
H/717-720 M) termasuk angkatan tabi`in yang memiliki jasa besar dalam
penghimpunan al-hadis. Para kepala daerah diutus untuk menghimpun al-hadis dari
para tabi`in yang terkenal memiliki banyak hadis, seorang tabi`in yang terkenal
saat itu adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab
Az-Zuhri (51-124H/671-742 M) yang melaksanakan tugas menghimpun hadis. Az-Zuhri
bersemboyan “al-isnad minad-diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa
syaa-a” (sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah
siapa saja tentang apa saja). Para ahli juga menyatakan bahwa beliau telah
menyelamatkan 90 al-hadis yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
lain.
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan hadis dalam
kitab-kitab masa abad II Hijriyah adalah bahwa al-hadis tersebut belum
dipisahkan mana yang marfu` dan mana yang maqthu`.
Dilokasi lain juga ada penghimpunan hadis juga pada masa ini, antara lain,
dapat dipaparkan sebagai berikut [9]:
No
|
Lokasi Penghimpunan Hadis
|
Nama Penghimpun Hadis
|
Tahun Penghimpunan Hadis
|
1
|
Mekkah
|
Ibnu Juraid
|
Tahun 80-150 H / 699-767 M
|
2
|
Madinah
|
Ibnu Ishaq
|
Wafat tahun 150 H / 767 M
|
3
|
Madinah
|
Sa`id bin Arubah
|
Wafat tahun 156 H / 773 M
|
4
|
Madinah
|
Malik bin Anas
|
tahun 93-179 H / 712-798 M
|
5
|
Madinah
|
Rabi`in bin Shabih
|
Wafat tahun 160 H / 777 M
|
6
|
Yaman
|
Ma`mar Al-Ardi
|
Wafat tahun 152 H / 786 M
|
7
|
Syam
|
Abu `Amar Al-Auzai
|
Tahun
88-157 H / 707-773 M
|
8
|
Kufah
|
Sufyan Ats-Tsauri
|
Wafat 161 H / 778 M
|
9
|
Bashrah
|
Hammad bin Salamah
|
Wafat tahun 167 H / 773 M
|
10
|
Khurasan
|
Abdullah bin Mubarak
|
Tahun 117-181 H / 735-798 M
|
11
|
Wasith (Irak)
|
Hasyim
|
Tahun 95-153 H/ 713-770 M
|
4. Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Pendiwanan yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku yang disebut pendiwan.
Penyusunan al-hadis dilaksanakan pada masa abad ke 3 H, langkah utama yang
dilakukan adalah dengan pengelompokan hadis, dengan mengelompokkan hadis yang marfu`,
mauquf dan maqthu`. Hadis marfu`
merupakan hadis yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadis mauquf, hadis
yang berisi perilaku sahabat, dan hadis yang maqthu`adalah hadis yang
berisi perilaku tabi`in. Pengelompokan hadis tersebut dilakukan oleh : Ahmad
bin Hambal, Abdullah bin Musa Al-Abasi Al-Kufi, Musaddad Al-Bashri, Nu`am bin
Hammad Al-Khuza`i, Ustman bin Abi Syu`bah.
Perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) adalah telah diusahakannya
untuk memisahkan al-hadis yang shahih dan tidak shahih sehingga tersusun tiga
macam hadis :
1)
Kitab Shahih yaitu shahih Bukhori dan Muslim, yang berisi
hadis yang shahih saja.
2)
Kitab Sunan (Ibnu Majah, Abu Dawud, At-Tirmidzi,
An-Nasa`i, Ad-Damiri) yang menurut sebagian ulama` selain sunan Ibnu Majah
berisi al-hadis shahih dan dha`if yang tidak munkar.
3)
Kitab Musnad (Abu Ya`la, Al-Humaidi, Ali Madani,
Al-Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) berisi berbagai macam hadis tanpa
penelitian dan penyaringan, ini hanya berguna bagi para ahli hadis untuk bahan
perbandingan.[10]
5. Masa Syarh
Al-Hadis
Pada abad ke 4 hijriyah seluruh hadis sudah terhimpun, yaitu kitab-kitab
hadis yang utama, kemudian para ulama yang datang sesudahnya hanya merujuk
kitab-kitab hadis yang sudah ada. Kegiatan para ulama pada masa ini lebih fokus
pada memelihara dan mengembangkan hadis dengan mempelajarinya, menghafal,
memeriksa, menyelidiki sanad-sanadnya dan memebrikan komentar atau penjelasan
terhadap kitab-kitab hadis tersebut (mensyarah atau mengulas) isi hadis.
Pada masa ini banyak pensyarah hadis yang lahir diantaranya kitab-kitab
pensyarah shahih al-Bukhari misalnya : Al-Kawakib Al-Darari fi Syarh
Al-Shahih Al-Bukhari yang disusun oleh Al-Allamah Syamsuddin Muhammad bin
Yusuf Al-Kirmani, Fath Al-Bari Bi Syarh Al-Shahih Al-Bukhari yang
ditulis oleh Ibnu Hajar Al-Asqlani (817-842 Hijriyah). Kitab syarh sunan
Muslim, misalnya : Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, sunan Ibnu
Majah antara lain : Al-Dibajah terdiri dari lima mujallad dikerjakan
oleh Muhammad bin Musa Al-Dimyari (wafat 808 H), Misbah Al-Zujajah `ala Sunani
Ibni Majah disusun oleh Jalaludin Al-Sayuti (wafat 911 H). Sunan Al-Musthafa
wa Kifayah Al-Hajah fi Syarhi Ibnu Majah, disusun oleh ulama Madinah
bernama Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Hadi Al-Sindi (wafat 1138 M), dari beliau
sunan Ibnu Majah menjadi populer dengan sunan Musthafa, dan Inhajul hajah, buah
karya waliyullah Al-Dihlawi (wafat 1176 H).
Adapun latar belakang periode pensyarah hadis dipengaruhi tumbuhnya periode
madzhab itu sendiri, pertumbuhan dan perkembangan madzhab melalui para pengikut
tokoh madzhab yang disebut imam madzhab. Para pengikut madzhab mulanya masih
memiliki sisa keratifitas dan keberanian intelektual menghasilkan karya sendiri
dengan tingkat orisionalitas yang memadai.[11]
B. Metodologi
Pemahaman Hadis Nabi
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos” yang berarti
jalan atau cara. Dalam bahasa Inggris kata ini dilutis method, sedangkan
bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqat dan manhaj. Dalam
bahasa Indonesia metode memiliki arti cara teratur yang digunakan untuk
melasanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan.[12] Metodologi
berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos
artinya ilmu. Kata metodologi dalam KBBI diartikan sebagai ilmu tentang metode;
uraian tentang metode.[13]
Pemahaman (syarh), kata syarh berasal dari bahasa Arab yaitu syaraha-yasruhu-syarhan yang artinya
menerangkan, membukakan, melapangkan.[14]
Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir
untuk kajian Al-quran. Dengan kata lain, keduanya sama-sama (menjelaskan maksud,
arti, pesan), namun secara istilah keduanya berbeda. Tafsir, spesifik
bagi Al-quran (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan ayat-ayat
Al-quran), istilah syarh (syarah) meliputi hadis (menjelaskan
maksud, arti, kandungan atau pesan hadis) dan ilmu lainnya.[15] Metodologi
pemahaman (syarh) hadis adalah ilmu tentang metode memahami hadis. Sehingga
dapat dibedakan bahwa metode syarh hadis : cara-cara memahami hadis,
sedangkan metodologi syarh ilmu tentang cara memahami hadis tersebut. Metode
yang digunakan dalam pensyarahan hadis ada tiga yaitu metode tahlili, metode
ijmali, dan metode muqarin. Adapun untuk melihat kitab dari
bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bil al-ma`sur dan syarh
bi al-ra`yi. Untuk menganalisis corak-corak kitab digunakan teori
kategorisasi dalam bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lughawi.[16]
Pemahaman hadis merupakan bagian dari kritik matan, kritik matan merupakan
bagian dari kritik hadis. Kritik hadis atau naqd al-hadis atau
penelitian hadis Nabi terdiri dari kritik sanad atau al-naqd al-kharijil
(kritik ekstern) dan kritik matan atau al-naqd al-dakhili (kritik
intern). Dibandingkan kritik sanad, kritik matan memiliki kesulitan yang lebih
besar. Menurut Shalah Al-Din Al-Adlabi menyatakan bahwa kesulitan dalam kritik
matan disebabkan pada beberapa faktor yaitu : 1) langkanya kitab-kitab yang
membahas kritik matan dan metodenya, 2) pembahasan matan hadis pada kitab-kitab
tertentu termuat di berbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara
khusus, dan 3) adanya keraguan di kalangan ahli hadis untuk mengklaim sesuatu
sebagai bukan hadis padahal hadis, demikian juga sebaliknya.[17]
Aliran-aliran pemahaman hadis, dalam memahami hadis Nabi secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok yang lebih mementingkan
makna lahiriyah teks hadis disebut Ahl Al-Hadis, tekstualitas (2)
kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada di
belakang teks disebut Ahl-Al-Ra`yi.[18]
Ahl Al-Hadis, telah muncul sejak masa genarasi sahabat, dengan berbagai persoalan
kehidupan yang belum kompleks. Kelompok ini berpegang pada arti lahiriyah nash,
karena dalam pandangan mereka kebenaran Al-quran bersifat mutlak, sedangkan
kebenaran rasio adalah nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak mungkin
dapat menjelaskan sesuatu yang mutlak. Mereka dijuluki dengan Ahl Al-Hasyw
artinya enggan menggunakan akal. Mereka juga mengabaikan sebab-sebab terkait
yang berada di sekeliling teks. Dalam kultur yang masih relatif dekat dengan
Nabi, dampaknya belum begitu terlihat, sebab perubahan yang signifikan dalam
budaya dan gesekan antara kebudayaan lokal dan luar belum terlalu terasa. Namun
ketika hadis telah melintasi banyak generasi dan lintas kultural serta
berhadapan dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan berimbas pada semakin
kompleksnya persoalan kehidupan.[19]
Ahl Al-Ra`yi, memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada nash
Al-quran dan Al-hadis. Tidak jarang mereka mengorbankan hadis ahad yang
bertentangan dengan Al-quran. Kelompok ini mempertahankan akal dalam
mengembangkan konsep-konsep seperti mashlahah dan istihsan, serta
mengutamakan qiyas dari pada teks-teks yang bersifat hipotetik.karena qiyas
menurut mereka didasarkan pada qarinah
dan hukum-hukum kulliyah
(universal), yang kemudian disebut dengan tujuan umum (maqashid al-syari`ah).[20]
C. Metode-Metode Pemahaman
(syarh) Hadis
1. Metode Tahlili (Analitis)
Metode tahlili yaitu metode yang menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan
cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta
menerangkan makna-makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan
kencenderengan dan keahlian pensyarah hadis. Pengertian tersebut sesuai dengan
buku karangan Abd Al-Hay Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu`i
sebagaimana yang dikutip oleh Nizar Ali dalam bukunya yang berjudul Metode
Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatannya.[21]
Kemasan penyajian penjelasan atau komentar seorang pensyarh hadis mengikuti
sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat pada sebuah kitab
hadis yang dikenal dengan al-kutub al-sittah. Pensyarah hadis
memulai penjelasan dengan kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan.
Uraian mencakup berbagai aspek yang terkandung dalam hadis seperti kosa kata,
konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (asababul wurud) jika
ditemukan, kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di
sekitar pemahaman hadis tersebut baik yang berasal dari sahabat, tabi`in,
maupun para ulama hadis.
Adapun kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahili
adalah “Fath Al-Bari Bi Syarah Sahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Irsyad Al-Sari Li Syarah Sahih Al-Bukhari karya Ibnu
Al-Abbas Syihab Al-Din Ahmad bin Muhammad Al-Qastalani, Al-Kawakib Al-Darari
Fi Syarh Sahih Al-Bukhari karya Syams Al-Din Muhammad bin Yusuf Ali
Al-Kirmani, Syarh Al-Zarqani `Ala Muwatta` Al-Imam Malik karya Muhammad
bin Abd Al-Baqi bin Yusuf Al-Zaeqani, dan kitab lainnya.”
Ciri khusus dari metode tahlili, pensyarhan yang mengikuti metode tahlili
dapat berbentuk riwayat (ma`sur) dan pemikiran rasional (ra`y). Syarh
yang berbentuk ma`sur ditandai dengan banyaknya dominasi
riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi`in, tabi`al-tabi`in atau
ulama hadis dalam penjelasan terhadap hadis yang disyarahi. Syarh yang
berbentuk ra`y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya. Jika
kitab-kitab syarh yang menggunakan metode tahlili baik yang
berbentuk ma`sur atau ra`y dicermati maka pensyarahan yang
dilakukan mengikuti pola menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis secara
komprehensif dan menyeluruh.[22]
Dalam melakukan pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi
kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan tentang asbab al-wurud
(latar belakang turunnya sebuah hadis), dari hadis yang dipahami jika hadis
yang disyarahi tersebut memiliki asbab al-wurud. Juga diuraikan
pemahaman yang pernah disampaikn oleh sahabat, tabi`in, tabi`at-tabi`in
dan para ahli hadis lainnya dari berbagai displin ilmu seperti teologi, fiqh,
bahasa, sastra dan sebagainya, juga dijelaskan munasabah (hubungan)
antara satu hadis dengan hadis lainnya, terkadang syarh yang menggunakan
metode ini diwarnai dengan kecenderungan dan keberpihakan pensyarh pada salah
satu madzhab.[23]Adapun kelebihan dan kekurangan dari metode tahlili
sebagai berikut :
a. Kelebihan, (1) ruang lingkup pembahasan yang
sangat luas, karena mencakup berbagai aspek yaitu : kata, frase, kalimat, asbab
al-wurud, munasabah, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk
yang ma`thur. (2) memuat berbagai ide dan gagasan, syarh yang
menggunakan metode analitis akan memberikan kesempatan kepada pensyarh hadis
untuk menuangkan sebanyak mungkin ide dan gagasan yang dikemukakan oleh ulama.
b. Kekurangan, (1) menjadikan petunjuk hadis
parsial, menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah
sehingga seolah-olah hadis tidak konsisten karena syarh yang diberikan pada
sebuah hadis berbeda dari syarh yang diberikan pada hadis lain yang sama karena
kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya. (2) melahirkan
syarh yang subyektif, kitab syah yang menggunakan metode analitis, terkadang
pensyarh tidak menyadari bahwa ia mensyarh hadis secara subyektif dan tidak
mustahil pula ada diantara mereka yang mensyarh sesuai dengan kemauan
pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku.[24]
Contoh dari metode tahlili dalam kitab
syarah hadis Fath Al-Bari Bi Syarah Sahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai
berikut:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال
أخبرنـي محمّد ابن إبراهيم التيمي
أنه سمع علقة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الـمنبر
قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّميقول إنّما الأعمال بالنّيات و إنّما
لكلّ امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى
ما هجر إليه.
قوله حدثنا (الحميدي (هو أبو بكر(عبد الله بن الزبير) بن عيسى منسوب إلى حميد
بن أسامة بطن من بني أسد بن عبد العزى بن قصي رهط خديجة زوج النّبي صلّى الله عليه
و سلّم يجتمع معها في أسد ويجتمع مع النّبي صلّى الله عليه وسلّم في قصي وهو إمام
كبير مصنف رافق الشافعي في الطلب عن بن عيينة وطبقته و أخذ عنه الفقه و رحل معه
إلى مصر ورجع بعد وفاته ‘لى مكة ‘لى أن مات بها سنة تسع عشرة و مائتين فكأن
البخاري امتثل قوله صلّى الله عليه و سلّم قدموا قريشا فافتتح كتابه بالرواية عن
الحميدي لكونه أفقه قرشي أخذ عنه و له مناسبة أخرى لأنه مكي كشيخه فناسب أن يذكر
في أول ترجمة بدء الوحي لأن ابتداءه كان بمكة ومن ثم
ثنى بالرواية عن مالك لأنه شيخ أهل المدينة وهي تالية لمكة في نزول الوحي و في
جميع الفضل و مالك و ابن عيينة قرينان قال الشّافعي لولاهما لذهب العلم من الحجاز
قوله (حدثنا سفيان) هو ابن عيينة بن أبي عمران الهلالي أبو محمد المكي أصله و
مولده الكوفة و قد شارك مالكا في كثير من شيوخه و عاش بعده عشرين سنة وكان يذكر
أنه سمع من سبعين من التّابعين قوله (عن يحي بن سعيد) حدثنا يحي بن سعيد
(الأنصاري) اسم جده قيس بن عمرو و هو صحابي و يحي من صغار التّابعين و شيخه(محمد
بن إبراهيم) بن الحارث بن خالد (التيمي)
من أوساط التّابعين...والله اعلم.
Dari
kutipan syarah di atas dapat diketahui bahwa dalam menerangkan hadis, pensyarah
mengemukakan analisis tentang periwayat (rawi) sesuai
dengan urutan sanad, sabab al-wurud, juga menyajikan
hadis-hadis lain yang berhubungan dengan hadis tersebut, bahkan ayat Al-quran yang
berkenaan dengan hadis. Pensyarah menggunakan riwayat riwayat dari para ulama.
Syarah banyak didominasi oleh pendapat mereka, sehingga dari uraian yang
demikian panjang, pendapat
dari pensyarah hampir-hampir tidak diketemukan. Selain itu
juga, disajikan penjelasan kosa kata yang terdapat didalamnya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa meskipun syarah yang memakai metode analitis ini
mengandung uraian yanglebih rinci, namun karena berbentuk al-ma’sur ,
pendapat dari pensyarah tetap sukar ditemukan. Inilah salah satu ciri utama
yang membedakan secara mencolok dengan syarh bi al-ra’yi.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode Ijmali yaitu menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai
dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-kutub al-sittah secara
ringkas tetapi dapat merepresentasikan makna literasi hadis dengan bahasa yang
mudah dipahami.
Dengan demikian, dari sistematika pensyarahan tidak berbeda dengan syarh
tahlili yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab
hadis. Selain itu dengan gaya juga tidak jauh berbeda dengan gaya bahasa yang
digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang tidak mengetahui
benar redaksi matan yang disyarahnya, kadang tidak dapat memilah mana yang hadis dan mana
yang syarhnya.[25]Adapun
kitab-kitab yang menggunakan metode ijmali diantaranya : Syarh
Al-Suyuti Li Sunan Al-Nasai karya Jalal Al-Din Al-Suyuti, Qut
Al-mughtazi `Ala Jami` Al-Turmudzi karya Jalal Al-Din Al-Suyuti, `Aun
Al-Ma`bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin `Ali Haidar
Al-Siddiqi Al-Azim Abadi, dan lain-lain.
Ciri metode ijmali adalah pensyarh langsung melakukan penjelasan
hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Dalam
metode ijmali, pensyarh tidak memiliki kebebasan atau tidak memiliki
ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Penjelasan umum dan
ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab syarh dengan metode ijmali.
Namun penjelsan terhadap hadis-hadis tertentu diberikan agak luas, akan tetapi
tidak seluas metode tahlili.[26] Kelebihan dan kekeurangan metode pensyarh
hadis dengan metode ijmali (global) sebagai berikut :
a. Kelebihan, (1) ringkas dan padat, syarh
yang menggunakan metode ijmali lebih praktis dan singkat sehingga
pembacanya cepat paham. Pola syarh dengan metode ini sangat berguna
untuk orang yang ingin memperoleh pemahaman hadis dalam waktu yang relatif
singkat. (2) bahasa mudah, dengan bahasa yang mudah sehingga mudah dipahami
selain bahasa yang digunakan singkat dan padat, pemahaman terhadap kosa kata
yang terdapat pada hadis mudah didapatkan, sebab pensyarh langsung menjelaskan
kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya
secara pribadi.
b. Kekurangan, (1) menjadikan petunjuk hadis
bersifat parsial, metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan
dapat menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang
lain. (2) tidak ada runang untuk mengemukakan analisis yang memadai, sebab
tidak menyediakan ruang dengan wacana pluralitas pemahaman suatu hadis, metode
global tidak dapat diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara detail dan
rinci.[27]
Dalam kitab syarah hadis ’Aun
al-Ma’bud Syarh} Sunan Abi Dawud karya Muhammad
bin Asyraf bin ’Ali Haidar Al-Siddiqi al-’Azim Abadi sebagai berikut:
(غسل يوم الجمعة واجب) قال
الخطابي معناه وجوب الاختيار و الاستحباب دون وجوب الفرض كما يقول الرجل لصاحبه
حقك علي واجب وأنا أوجب حقك و ليس ذلك بمعنى اللزوم و الذي لا يسع غيره ويشهد لصحة
هذا التأويل حديث عمر الذي تقدم ذكره انتهىز قال ابن دقيق العيد في شرح عمدة
الأحكام ذهب الأكثرون إلى استحباب غسل الجمعة و هم محتاجون إلى الأعتذار عن مخالفة
هذا الظاهر وقد أولوا صيغة الأمر عل الندب و صيغة الوجوب على التأكيد كمايقال
إكراماك على واجب وهو تأويل ضعيف إنما يصار إليه إذا كان المعارض راجحا على هذا
الظاهر وأقوى ماعارضوابه هذا الظاهر حديث من توضأ يوم الجمعة فيها ونعمت ومن اغتسل
فالغسل أفضل ولايعارض سنده سند هذه الأحادث انتهى (على كل محتلم) أي بالغ وإنما
ذكر الإحتلام لكونه الغالب وتفسيره بالبالغ مجاز لأن الإحتلام يستلزم البلوغ
والقرينة الماسة عن الحمل على الحقيقة أن الإحتلام إذا كان معه انزال موجب للغسل
سواء كان يوم الجمعة أم لا. ذكره الزرقاني قال المنذري و أخرجه البخاري و مسلم
والنسائي وابن ماجه.
3. Metode Muqarin (Komparatif)
Metode Muqarin yaitu metode memahami hadis dengan cara : (1)
membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang
sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama dan (2)
membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. Dengan
kata lain, memahami hadis dengan menggunakan metode muqarin ini mempunyai
cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain,
melainkan juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam
menyarah suatu hadis. Kitab hadis yang menggunakan metode muqarin adalah
Sahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi karya Imam Nawawi, umdah Al-Qari
Syarh Sahih Al-Bukhori karya Badr-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Al-Aini
dan lainnya.
Ciri-ciri Metode Muqarin, ciri utama metode muqarin adalah
perbandingan. Disini adalah letak perbedaan yang prinsipil antara metode ini
dengan metode lain. Kajian perbandingan dalam syarh hadis yang
menggunakan metode ini, tidak terbatas pada perbandingan analisis redaksional,
melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, kandungan makna dari
masing-masing hadis yang diperbandingkan. Pensyarh harus meninjau berbagai
aspek seperti latar belakang munculnya hadis (asbab al-wurud al-hadis)
tidak sama, pemakaian kata dan susunannya dalam hadis berlainan, dan konteks
masing-masing hadis.[28]
Penjelasan syarh dengan metode muqarin, dimulai dengan
menjelaskan pemakaian kosa kata (mufradat), urutan kata, maupun
kemiripan redaksi. Jika yang diperbandingkan adalah kemiripan redaksi langkah
yang dapat ditempuh adalah : (1) mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang
redaksinya mirip, (2) membandingkan antara hadis yang redaksinya mirip itu,
yang membicarakan satu kasus yang sama atau kasus yang berbeda dalam satu
redaksi yang sama, (3) menganalisis perbedaan yang terkandung dalam berbagai
redaksi yang mirip baik perbedaan tersebut mengenai konotasi hadis maupun
redaksinya, (4) membandingkan antara berbagai pendapat para pensyarh hadis yang
dijadikan obyek bahasan.[29] Kelebihan dan kekurangan metode syarh
hadis dengan menggunakan metode muqarin sebagai berikut :
a. Kelebihan, memberikan wawasan pemahaman yang
lebih luas kepada para pembaca dibandingkan dengan metode lain, membuka pintu
untuk selalu bersikap toleransi, pemahaman dengan metode ini berguna bagi yang
ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis, pensyarh terdorong
untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat para pensyarh lainnya.
b. Kekurangan, metode ini tidak relevan bagi
pembaca tingkat pemula dikarenakan pembahasan terlalu luas, metode ini tidak
dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang berkembang di tengah
masyarakat sebab pensyarh lebih mengedepankan perbandingan dari pemecahan
masalah, terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh
ulama daripada mengemukakan pendapat baru.[30]
Salah satu kitab yang
menggunakan Syarh muqarin adalah Umdah al-Qari Syarh S}ahih al-Bukhari karya
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini.
قد حصل من الطرق المذكورة أربعة ألفاظ "إنما
الأعمال بالنيات" و" الأعمال بالنية" و "العمل بالنية"
وادعى النووي في تلخيصه قلتـهاز والرابع "إنـما الأعمال بالنية" وأورده
القضاعي في الشهاب بلفظ "الأعمال بالنيات" بحذف "إنما" و
الحافظ أبو موسى الأصبـهاني: لا يصح إسنادها,وإقره النووي على ذلك في تلخيصه
وغيره,وهو غريب منهما,وهي رواية صحيحة أخرجها ابن حبان في صحيحه...و أورده الرافعي
في شرحه الكبير بلفظ آخر غريب وهو "ليس للمرء من عمله إلا نواه"....وفي
البيهقي في حديث آخر مرفوعا"لا عمل لـمن لا نية له....لكن اسناده جهالة.
....الأول:
احتجت الأئمة الثلاثـة في وجوب النية في الوضوء والغسل فقالوا: التقدير فيه صحة
الأعمال بالنيات والألف و اللام فيه لاستغراق الجنس,فيدخل فيه جميع الأعمال من
الصوم و الصلاة و الزكاة و الوضوء...ومن الثاني أن النيات إنما تكون مقبولة إذا
كانت مقرونـة بالإخلاص انتهي. وذهب أبو حنيفـة و أبو يوسف و محمد و زفر والنواوي
والأوزاعي و الحسن بن حي ومالك في رواية إلى أن الوضوء لا يحتاج إلى نية,وكذلك
الغسل. و زاد الأوزعي و الحسن التيمم.وقال عطاء ومجاهد: لا يحتاج صيام رمضان إلى
نية إلا أنيكون مسافرا أو مريضا...
...الثاني احتجت به أبو حنيفة و مالك وأحمد في أن من
أحرم بالحج في غير أشهر الحج أنه لا ينعقد عمرة لأنـه لم ينوها فإنما له
مانواه,وهو أحد أقوال الشافعي,إلا أن الأئمة الثلاثة قالوا: ينعقد إحرامه بالحج
ولكنـه يكره,ولم يخـتلف قول الشافعي أنـه لا ينعقد بالحج...
...الثالث: احتجت به
مالك في اكتفائه بنية واحدة في أول شهر رمضان...
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah yang telah dipaparkan
di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Sejarah periodisasi syarh hadis meliputi
: masa pembentukan al-hadis, masa panggalian, masa penghimpunan, masa
pendiwanan dan penyusunan, yang terakhir masa syarh hadis.
Metode syarh hadis adalah cara yang
digunakan untuk memahami hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan
hadis), pemahaman hadis merupakan bagian dari kritik matan, kritik matan
merupakan bagian dari kritik hadis. Kritik hadis atau naqd al-hadis atau
penelitian hadis Nabi terdiri dari kritik sanad atau al-naqd al-kharijil
(kritik ekstern) dan kritik matan atau al-naqd al-dakhili (kritik
intern).
Metode yang digunakan dalam memahami hadis
yaitu : (a) metode tahlili (analitis), kelebihannya : ruang lingkup
pembahasan yang luas, memuat berbagai ide gagasan, kekurangannya: menjadikan
petunjuk hadis parsial, melahirkan syarh yang subyektif, (b) metode ijmali
(global), kelebihan: ringkas dan padat, bahasa mudah dipahami, kekurangannya: petunjuk
hadis bersifat parsial, tidak ada ruang untuk mengemukakan analisi yang memadai
dan (c) metode muqarin (komparatif), kelebihan: memberikan wawasan
realtif luas pda para pembaca, membuka pintu untuk bersikap toleransi, berguna
bagi yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang hadis, pensyarh terdorong
untuk mengkaji berbagai hadis, kekurangan: tidak relevan untuk pembaca pemula,
tidak dapat menjawab permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, terkesan
lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan ulama dari pada
mengemukakan pendapat baru.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, dkk., Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Memahami
Hadis, Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatan, Yogyakarta
: CESaD YPI Al-Rahmah, 2001.
Khamdan, dkk., Studi Hadis Teori dan Metodologi : Kritik Terhadap
Hadis-Hadis Pendidikan, Pengantar Nizar Ali, Yogyakarta : Idea Press, 2012.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,
Yogyakarta : Teras, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Cetakan Ketiga, edisi
III, 2005.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-quran, 1973.
[1] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta
: CESaD YPI Al-Rahmah, 2001), hal. 1.
[2] Abdul Mustaqim, dkk., Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Memahami
Hadis, (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008),
hal. 2-3.
[4] Khamdan, dkk., Studi Hadis Teori dan
Metodologi : Kritik Terhadap Hadis-Hadis Pendidikan, Pengantar Nizar Ali, (Yogyakarta
: Idea Press, 2012) hal. 65.
[12] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka. Cetakan Ketiga,
edisi III, 2005), hal. 740.
[14] Lihat pada Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran,
1973).
[16] Selengkapnya lihat pada Nizar Ali, (Ringkasan Disertasi), Kontribusai
Imam Nawawi Dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), hal. 4.
[17] Shalah Al-Din Al-Adlabi, Manhaj Nadq Al-Hadis (Beirut: Dar Al-Afaq
Al-Jadilah, 1403 H/1983), hal. 20-23 yang dikutip oleh Suryadi dalam bukunya
yang berjudul, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta :
Teras, 2008), hal. 69.
[20] Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi`i : Modernisme, Elektisme,
Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta : LkiS, 1997), hal. 48-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar