Minggu, 29 Maret 2015

Syekh Siti Jenar Berguru pada Sunan Bonang, dalam Purwadi, Ilmu Ma`rifat Sunan Bonang: Membongkar Riwayat Guru Sejati Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta: Sadasiva, 2004.

Syekh Siti Jenar dikenal dengan ajaran manunggaling kawula gusti. Menurutnya Tuhan bersemayam dalam dirinya. Kawula dan gusti telah menyatu maka seseorang tidak perlu lagi melaksanakan salat. Ia tidak mau melaksanakan salat karena kemauannya sendiri (Muhammad & Rahman, 2001).
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa: a) watu kayu iku darbe dating Pengeran, b) Manungsa iku kadunungan dating Pengeran, c) Titah alus lan titah kasat iku kabeh saka Pengeran, d) Samubarang kang katon iki kalebu titah kang kasat mata, dene liyanae kalebu titah alus. Artinya: Batu dan kayu itu memiliki zat Tuhan, Manusia itu memiliki zat Tuhan, Baik makhluk halus maupun makhluk yang tampak semuanya ciptaan Tuhan, Segala yang dapat dilihat merupakan ciptaan Tuhan yang tampak, sedangkan yang lain merupakan makhluk halus.
Syekh Siti Jenar mengajarkan tarekat sekitar tahun 1527 Masehi. Tarekat ini mutawatir dari Nabi Muhammad melalui Abu Bakar Ash-Shidiq. Prinsip yang dituju adalah manunggaling kawula gusti. Derajat tertinggi itu bisa dicapai ketika manusia sudah benar-benar lepas dari basyar (tubuh). Tidak ada wirid dengan bilangan-bilangan tertentu, jamaah diwajibkan senantiasa mengingat Allah dalam situasi apapun sembari melakukan aktivitas. Tidak ada desah nafas tanpa menyebut Allah. Tata cara yang bebas itu memang menjadi ciri khas tarekat Syekh Siti Jenar. Prinsip aliran ini ialah bahwa semua orang bebas bertemu Tuhan. Tidak perlu guru, kyai, atau mursyid, yang terpenting mengetahui prinsip dan tata caranya. Guru merupakan pembimbing, bukan penuntun. Semua derajatnya sama, jamaah baru akan dibaiat dan akan diberi pelajaran mengenai prinsip tarekat (prinsip sangkan, paran, dumadi). Artinya prinsip tersbut adalah asal-usul, tujuan, dan proses kejadian manusia.
Dalam perjalanan hidupnya Syekh Siti Jenar mendirikan peguron. Ia mengajarkan pada muridnya (Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Kebo Kenanga, dan Pangeran Panggung) tentang ilmu beraliran wahdatul wujud (kesatuan wujud), dengan melakukan ittihad (kesatuan mutlak). Simuh (1988), mengambarkan ajaran ittihad laksana api dengan nyalanya, laut dengan ombaknya, atau kembang dengan sarinya. Menurutnya, ajaran ini bersumber dari tasawuf Ibnu Arabi (tahun 1165-1240 Masehi) dan Al-Hallaj (tahun 858-922 Masehi). Karena kontroversial, ajaran Syekh Siti Jenar mendapat reaksi keras dari para wali. “Ya Ingsung iki Allah, Ingsung iki jatining Pangeran Mulya,Syekh Lemah Abang iku wajahing Pangeran jati” artinya: Ya aku inilah Allah, Aku ini hakikat Yang Mahamulia, Syekh Lemah Abang wajah Tuhan Sejati.

Meskipun kontroversi Syekh Siti Jenar, termasuk mendapatkan tempat di masyarakat yang masih terkekang konsep kasta, ajaran pembebasannya menarik di kalangan kaum miskin yang baru saja meninggalkan kepercayaan Hindu. Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa untuk menuju Allah orang tidak perlu membutuhkan guru dan kyai. Siapapun berhak berhubungan langsung dengan Allah. Konsep tentang manunggaling kawula gusti, ilmu yang mengarah tentang hakikt, dinilai wali songo tidak cocok untuk orang awam yang baru mengenal Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar