Minggu, 29 Maret 2015

Sejarah Perkembangan Pesantren Di Indonesia

SEJARAH PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan aktifitas yang sangat penting bagi manusia. Bermacam jenis lembaga pendidikan didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, baik lembaga yang bersifat formal maupun nonformal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dalam payung yayasan organisasi masyarakat. Sejarah mencatat, bahwa kemerdekaan negara Indonesia merdeka karena peran dari para pemuda dan generasi bangsa yang telah terdidik. Lembaga pendidikan terdiri dari atas lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan Islam. Masing-masing lembaga memiliki jenjang pendidikan dari pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Lembaga pendidikan Islam dapat berupa lembaga pesantren, lembaga pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim. Pesantren juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dengan terlibat langsung dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Mastuhu, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk memahami, menhayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Selanjutnya Ahmad Syafi`i Noer mengemukakan bahwa pesantren merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang jauh dari negeri asalnya, dan merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya yang bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.[1] Makalah ini akan membahas tentang apa itu pesantren, sejarah dan perkembangan lembaga pesantren di Indonesia hingga tujuan dan karakteristiknya, serta perkembangan lembaga pendidikan Islam pesantren pada masa penjajahan hingga masa kini.
PEMBAHASAN
·      Pengertian Pesantren
Secara etimologi kata pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan “pe” dan akhiran “an” berarti tempat tinggal santri. Asal kata pesantren juga dianggap gabungan dari kata  sant  (manusia baik) dengan suku kata ira (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik-baik.[2]
Profesor John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, artinya guru mengaji, ada juga yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang yang tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[3] CC Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastni yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[4] Istilah pesantren masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Hindu, sebelum datangnya Islam. Hal itu berarti metode dan kurikulum di pesantren banyak diwarnai ajaran non Islam. Setelah berkembangnya Islam di Indonesia, maka lembaga pesantren itu mendapat isi ajaran Islam.[5] Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan pesantren ini disebut dengan nama lain seperti surau di Sumatra Barat, Rangkang dari Dayah di Aceh, dan pondok di daerah lain.
Secara terminologi Steenbrink menjelaskan bahwa pendidikan pesantren dan ditinjau dari bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum adanya proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa sistem tersebut diambil alih oleh Islam. Dengan kata lain pesantren dapat didefinisikan dengan lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan dan pengajaran agama. Dari segi historisnya pesantren dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan sebelum Islam datang dan masuk ke Indonesia, sebab lembaga yang serupa sudah ada semenjak Hindu dan Budha.[6]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tiga ciri umum yaitu : kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan serta adanya kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pangajian kitab dengan metode wetonan, sorogan, dan musyawarah, yang kini sebagian telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah. Adapun ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik dan suasana keagamaan yang mendalam. Menurut Marwan Sarijo, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memebrikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan. Para santri disediakan pondokan atau merupakan santri yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria pendidikan non formal dan menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kebutuhan masyarakat.
Menurut KH. Ali Maksum pesantren merupakan asrama tempat tinggal para kyai beserta keluarga dengan santri yang mengaji di tempat yang disediakan. Pengajian yang dimaksud adalah berbahasa Arab, baik  yang berupa karangan-karangan lama ataupun buah karya pengarang baru. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki misi yang sangat luas dan kompleks, yang terutama dan paling mendasar adalah pemahaman terhadap agama dan dakwah Islamiyah.[7]
Karakteristik lembaga pendidikan pesantren dan unsur-unsur kelembagaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem kultural, dan tidak dapat pula diletakkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren, sebab setiap pesantren memiliki keunikan masing-masing. Pesantren bukan semacam sekolah atau madrasah walaupun dalam lingkungan pesantren sekarang ini telah banyak didirikan unit-unit pendidikan klasikal dan kursus-kursus.[8]
·      Sejarah dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Pesantren di Indonesia
Mastuhu menyatakan bahwa, kapan pesantren pertama kali didirikan, dimana, dan oleh siapa, tidaklah dapat diperoleh keterangan yang pasti. Menurut data dari Departemen Agama pada tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 atas nama pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura. Namun seperti pernyataan  Mastuhu, hal tersebut diragukan, tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang usianya lebih tua, dan dalam buku departemen agama tersebut banyak dicantumkan tanpa tahun pendirian, jadi ada kemungkinan mereka memiliki usia lebih tua.[9]
Jika dicermati sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisional di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan sebutan Pondok. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq¸ yang berarti hotel, asrama, pesanggrahan atau penginapan bagi para musafir, sehingga pondok diartikan dengan tempat murid-murid belajar mengaji atau disebut tempat belajar agama Islam.
Ada dua pendapat yang berbeda mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya lembaga pendidikan pesantren di Indonesia.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta, penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya dalam bentuk kegiatan tarekat, indikatornya adalah terbentuknya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat disebut kyai, khalifah atau mursyid. Pada beberapa tarekat ada yang mewajibkan pengikutnyan untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tingggal bersama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah dengan bimbingan kyai. Para kyai menyediakan ruang khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di kiri kanan masjid. Selain mengerjakan amalan-amalan tarekat, para pengikut juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Aktifitas yang diikuti oleh pengikut tarekat kemudian dinamakan pengajian. Perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Kedua, pesantren yang ada saat ini pada mulanya pengambilalihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Dasarnya pada fakta bahasa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga pesantren sudah ada di negara ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader Hindu. Tradisi penghormatan murid kepada guru yang pola hubungannya tidak didasarkan pada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dan tradisi Hindu. Fakta lain menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar pada tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya. Lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar, dan Thailand[10]
Menurut Wahjoetomo, pesantren yang berdiri di tanah air, khususnya pulau Jawa dimulai dan dibawa oleh Wali songo, pondok pesantren yang pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Maghribi atau Syekh Maulana Malik Ibrahim (w. 12 Rabiul Awal 822 H/April 1419 M) di Gresik. Data dari Departemen Agama tahun 1984/1985 jumlah pesantren pada abad ke-16 ada 613 buah, akan tetapi tidak diketahui tahun berapa pesantren itu didirikan. Berdasarkan laporan pemerintah Hindia Belanda tahun 1831 ada 1.853 lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan jumlah murid 16.556, laporan tersebut belum dipisahkan antara lembaga pengajian dan lembaga pesantren. Setelah ada laporan penelitian Van Den Berg tahun 1885 diketahui ada 14.929 lembaga pesantren.
Masa berikutnya, lembaga pesantren terus berkembang dari segi jumlah, sistem dan materi yang diajarkan. Tahun 1910 pesantren Denanayar, Jombang mulai membuka pondok khusus santri perempuan, kemudian tahun 1920-an di Jawa Timur seperti Tebu Ireng di Jombang, Pesantren Singosari di Malang, mulai mengajarkan ilmu umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung ilmu bumi dan sejarah.[11]
·      Tujuan Lembaga Pendidikan Pesantren dan Karakteristiknya
Setiap lembaga pendidikan tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikannya. Demikian juga lembaga pendidikan pesantren memiliki tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Menurut M. Arfin tujuan didirikannya pondok pesantren, terbagi menjadi dua hal :
1)   Tujuan Khusus, mempersiapkan santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat.
2)   Tujuan Umum, membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.[12]
Dalam perjalanan sejarahnya pesantren merupakan lembaga pendidikan non formal swasta murni yang tidak mengajarkan ilmu umum. Seluruh program pendidikan disusun sendiri dan umumnya bebas dari ketentuan formal. Program pendidikannya mengandung proses pendidikan formal yang berjalan sepanjang hari di bawah pengawasan atau monitoring kyai.
Kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigenous religious and social institution) dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia.[13] Pesantren sebagai lembaga indigenous, oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam dinyatakan bahwa “pesantren memiliki akar sosiohistoris yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia kelimuan masyarakatnya, sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan”.[14] Dengan kata lain lembaga pesantren dapat bertahan karena ia tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi karakter eksistensialnya yang mengandung arti keaslian Indonesia. Sebagai lembaga indigenous pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologi masyarakat dan lingkungannya.
Penyelenggaraan pendidikan serta pengajaran di pesantren berdasarkan atas ajaran Islam dengan tujuan ibadah untuk mendapatkan ridha Allah swt, waktu belajar tidak dibatasi, santri dididik menjadi mukmin sejati, integritas pribadi yang kukuh, mandiri dan mempunyai kualitas intelektual, dengan harapan santri dapat menjadi panutan dalam masyarakat, menyebarluaskan citra nilai budaya pesantren dengan penuh keikhlasan, dan menyiarkan dakwah Islam.
Adapun prinsip-prinsip pendidikan yang diterapkan adalah (1) kebijaksanaan, (2) bebas terpimpin, (3) mandiri, (4) kebersamaan, (5) hubungan guru, (6) ilmu pengetahuan diperoleh dengan kemampuan akal dan kesucian hati serta berkah kyai, (7) kemampuan mengatur diri sendiri, (8) sederhana, (9) metode pengajaran yang luas, (10) ibadah. Ada lima elemen dasar pesantren yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan pengajaran kitab-kitab klasik, hal itu yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, berikut adalah penjelasannya:
1.        Pondok. Merupakan asrama tempat bagi para santri utnuk tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan kyai. Umumnya kompleks pesantren dikelilingi dengan pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum, namun ada pula yang tidak berbatas. Bangunan setiap pondok berbeda-beda baik kualitas ataupun kelengkapannya, ada yang didirikan atas biaya kyainya, gotong royong santri dan sumbangan para warga masyarakat atau sumbangan dan pemerintah. Dalam tradisi pesantren ada kesamaan umum yaitu kyai memimpin pesantren mempunyai wewenang dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.
2.        Masjid. Masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren, sebab ia adalah tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri khususnya dalam tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kegiatan kemasyarakatan. Dalam lingkungan pesantren, bangunan masjid terletak di dekat kediaman kyai dan berada di tengah-tengah kompleks pesantren.
3.        Pengajaran Kitab-kitab Klasik, dengan menggunakan metode yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran sebagai berikut :[15]
a.         Metode sorogan, yaitu proses pembelajaran yang mana kyai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Pelaksanaan metode sorogan yaitu santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan kyai, kemudian kyai membacakan bagian dari kitab tersebut selanjutnya santri mengulangi bacaan dengan bimbingan kyai sampai santri benar-brnar menguasai materi, setelah itu barulah ditambahkan materi yang selanjutnya, sedangkan yang belum harus mengulangi.
b.         Metode wetonan dan bandongan, metode pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah (interractive lecturing). Pada metode ini kyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dalam suatu kitab, para santri menyimak bacaan kyai sambil membuat catatan penjelas di bagian pinggir kitab.
c.         Metode musyawarah, merupakan sistem belajar dalam bentuk seminar guna membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran santri, yaitu santri aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku-buku yang telah ditentukan kyainya. Kyai hanya memberikan bimbingan seperlunya, adapun bidang ilmu dari kitab yang diajarkan di pesantren adalah : nahwu (tata bahasa Arab), sharaf (sistem bentuk kata Arab), fiqih, ushul fiqih, hadis, tauhid, tasawuf, juga cabang ilmu agama misalnya balaghah dan tarikh. Kitab-kitab yang diajarkan berdasarkan pada tingkat-tingkat santri, untuk tingkat dasar diajarkan susunan bahasanya sederhana, tingkat menengah diajarkan kitab yang agak rumit bahasanya, pada tingkat tinggi atau takhasus atau spesialisasi diberikan kitab yang tebal dan rumit susunan bahasanya.[16]

4.        Santri. Santri adalah peserta didik yang tinggal di pesantren, santri yang belajar dalam satu pondok pesantren memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang baik antara sesama santri maupun antara santri dan kyai. Situasi yang berkembang diantara para santri belajar hidup bermasyarakat, bernegoisasi, memimpin, dan dipimpin, selain itu juga harus bersedia menjalankan tugas apapun yang diberikan kyai. Jumlah santir dapat dijadikan tolok ukur maju mundurnya pesantren, semakin banyak santri yang ada pada sebuah pesantren maka dinilai semakin baik, demikian sebaliknya. Santri ada dua macam yaitu santi mukim dan kalong. Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal dalam pondok yang disediakan pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah penduduk sekitar di lokasi pesantren.[17]
5.        Kyai. Adalah istilah yang bersal dari Jawa, yang digunakan untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti kyai Garuda Kencana yang dipakai untuk kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta, kedua gelar kehormatan bagi orang tua pada umunya, ketiga gelar yang diberikan masyarakat kepada orang agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.[18] Sedangkan Aliy As`ad menambahkan bahwa gelar kyai digunakan dalam tiga dimensi : pertama kyai ulama` seperti Kyai Hasyim Asy`ari, Kyai Mahfudz Al-Termasi, dan lainnya, kedua kyai sebutan artinya sebutan kepada yang mempunyai kelebihan, juga memiliki pendukung yang mengakui kelebihannya, ketiga yakni kyai aku-akuan yang sebenarnya tidak memiliki kelebihan apa-apa.[19] Abuddin Nata menyatakan bahwa kyai secara kelimuan memiliki ciri-ciri antara lain : menguasai ilmu agama secara mendalam, keilmuan yang dimiliki telah mendapat pengakuan dari masyarakat sekelilingnya, menguasai kitab kuning dengan matang, taat beribadah kepada Allah swt, mempunyai kemandirian dalam bersikap, tidak mau “mendatangi” penguasa, mempunyai geneologi kekyaian, memperoleh ilham dari Allah swt. Bila memenuhi kriteria tersebut, layaklah seseorang itu disebut kyai dalam pengertian yang lazim.[20]
Adapun kekhasan pesantren dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya adalah para santri atau peserta didik tinggal bersama dengan kyai atau guru mereka dalam satu kompleks tertentu yang mandiri, sehingga dapat menumbuhkan ciri-ciri khas pesantren seperti : adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, santri taat dan patuh kepada kyainya, para santri hidup secara mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan, dan para santri terlatih hidup berdisiplin dan terikat.[21]
Macam-macam pola perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan pesantren diantaranya sebagai berikut:
1)   Pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai, ini adalah pesantren sangat sederhana, masjid dan rumah kyai digunakan sebagai tempat mengajar, sedangkan santri berasal dari sekitar pesantren.
2)   Pesantren terdiri dari masjid, rumah kyai, dan pondok atau asrama, madrasah, pola ini telah dilengkapi pondok yang disediakan bagi para santri yang berasal dari daerah lain.
3)   Pesantren yang didirikan dan masjid, rumah kyai, pondok atau asrama. Pola ini memakai sistem klasikal, santri mendapatkan pelajaran di madrasah selain itu juga belajar mengaji, mengikuti pengajaran yang diberikan oleh kyai di pondok.
4)   Pesantren yang telah berubah kelembagaannya, terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama, madrasah dan tempat ketrampilan. Pola ini lengkap dengan tempat ketrampilan agar santri terampil dengan pekerjaan yang sesuai dengan sosial kemasyarakatannya misal pertanian, peternakan dan menjahit.
5)   Pesantren seperti pola yang keempat, namun ditambahkan universitas, gedung pertemuan,olah raga dan sekolah umum. Pola ini sebagai tanda lembaga pendidikan tersebut telah berkembang dan bisa dikatakan sebagai pesantren modern.[22]
·       Pesantren Pada Masa Penjajahan dan Perkembangannya
Pada masa kolonial Belanda pesantren yang terkenal adalah Pesantren Tebu Ireng Jombang, Wonokoyo Probolinggo, Siwalan Panji Sidoarjo, Lirboyo Kediri, Tremas Pacitan, Tegalsari, Gontor Ponorogo, Jamseran Solo, Manba`ul Ulum Solo, Lasem, Al-Muanwir Yogyakarta, Mubarak, Al-Khairiyah Banten, Suryalaya Tasikmalaya, adapun yang diluar Jawa Thawalib Sumatera, MTI Candung Sumatera Barat, Masrurah Tengku Elaji Hasan Aceh, Masrurah Medan, Tanjung Sungayang Batu Sangkar, Nurul Iman Jambi, Al-Qur`aniyah Palembang, Syamsul Huda Jembrana Bali, Nahdatul Wathan Lombok, Al-Khairat Palu Sulawesi Tengah, As`Adiyah Wojo Sulsel, Syekh Muhammad Al-Banjari Martapawa Kalimantan Selatan.[23]
Pesantren berkembang pesat pada masa ini disebabkan, para ulama dan kyai mempunyai kedudukan yang kukuh di lingkungan kerajaan dan kraton sebagai penasehat raja atau sultan. Pembinaan pesantren mendapat perhatian besar dari para raja dan sultan, bahkan beberapa pesantren didirikan atas dukungan kraton seperti pesantren Tegalsari Jawa Timur yang diprakarsai Susuhunan Pakubuworo II, kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman semakin meningkat, sementara sekolah Belanda saat itu hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja, hubungan transformasi antara Indonesia dan Mekkah semakin lancar sehingga memudahkan pemuda Islam Indonesia menuntut ilmu ke Mekkah, kemudian sekembalinya ke tanah air mereka biasanya mendirikan pesantren di daerah asalnya dengan menerapkan cara belajar seperti yang dijumpai di Mekkah. Pada masa ini khas dari pesantren itu karena disiplin ilmu yang diajarkan oelh kyai, ada yang khusus mengajarkan disiplin ilmu hadis dan fiqih, ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, tasawuf dan lainnya.[24]
Perubahan penting dalam kehidupan pesantren adalah dimasukkannya sistem madrasah. Ini merupakan imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat. Dengan sistem madrasah, pesantren mencapai kemajuan yang terlihat dan bertambahnya jumlah pesantren. Tahun 1940an sudah terdapat beberapa pesantren yang menyelenggarakan jenis sekolah agama yang dikembangkan pemerintah.  Masuknya sistem madrasah maka jenjang pendidikan pesantren juga ikut menyesuaikan diri dari jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pesantren juga mengalami perubahan kurikulum dengan penambahan sejumlah mata pelajaran non agama, meskipun kitab-kitab Islam klasik dengan metode sorogan dan wetonan tetap dipertahankan.
Lahirnya madrasah wajib belajar (MWB) tahun 1958/1959 juga berpengaruh pada pesantren, ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah negeri. Tahun 1965 di Yogyakarta berdasarkan rumusan seminar pondok pesantren disepakati perlunya memasukkan pendidikan dan pelajaran ketrampilan pada pesantren seperti pertukangan, pertanian, peternakan dan ketrampilan lainnya. Pada masa orde baru, pembinaan pesantren telah dilakukan oleh pemerintah melalui proyek pembangunan lima tahunan (pelita), sejak pelita I dan pembinaan pesantren dan berbagai instansi terkait, dan tingkat pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah. Tahun 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengembangan pesantren yaitu mendirikan pondok pesantren model baru baik oleh masyarakat maupun pemerintah dengan nama pondok karya pembangunan (PKP), pondok modern, Islamic Centre atau pondok pesantren pembangunan. Pondok pesantren ini mengalami kesulitan dalam pembinaan karena tiadanya kyai yang karismatik yang dapat memberikan bimbingan dan teladan kepada santri-santrinya.
Perkembangan selanjutnya pesantren mulai mendidikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umumyang ditetapkan pemerintah, bahkan madrasah yang dibina pesantren juga menyesuaikan diri dengan pola madrasah yang berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) menteri agama, menteri dalam negeri dan menteri pendidikan dan kebudayaan nomer 3 tahun 1975 yang menetapakan bahwa “mata pelajaran umum di madrasah sekurang-kurangnya harus tujuh puluh persen dan seluruh kurikulum”. Namun dengan alasan bahwa kurikulum yang ditetepkan pemerintah tidak sesuai dengan jasa dan tujuan pesantren, maka madrasah yang di pesantren menetapkan kurikulumnya sendiri seperti pesantren modern Gontor, pesantren Pabelan di Muntilan dan lainnya. ada juga pesantren yang mendirikan perguruan tinggi, ada yanghanya mendirikan fakultas-fakultas agama yang berkiblat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN), ada juga yang mendirikan universitas dengan fakultas umum dan agama seperti yang dilakukan oleh pesantren As-Syafi`iyah dan pesantren At-Tahiriyah di Jakarta. Zaman orde baru pemerintah Indonesia melalui depertemen agama, telah berusaha membantu membina dan mengembangkan pesantren. Berdasarkan data departemen agama tahun 1988/1989 di setiap propinsi di Indonesia, kecuali Timor-Timur telah ada lembaga pesantren, jumlah pesantren 6.631 buah dengan 958.670 orang santri dan 33.993 orang kyai. Jumlah pesantren pada tiap provinsi bervariasi antara 3-2479 buah.[25]

KESIMPULAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tiga ciri umum yaitu : kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan serta adanya kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pangajian kitab dengan metode wetonan, sorogan, dan musyawarah, yang kini sebagian telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah. Adapun ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik dan suasana keagamaan yang mendalam.
Dalam perkembangan asal usul pesantren di Indonesia ada dua pendapat : Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Kedua, pesantren yang ada saat ini pada mulanya pengambilalihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara.
Lembaga pendidikan pesantren memiliki tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Menurut M. Arfin tujuan didirikannya pondok pesantren, terbagi menjadi dua hal :
ü  Tujuan Khusus, mempersiapkan santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat.
ü  Tujuan Umum, membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya
Pada masa penjajahan Belanda pesantren sudah didirikan, kemudian dalam perkembangannya dimulai pada masa orde baru ada perhatian pemerintah untuk membantu membina dan mengembangkan pesantren, dengan usaha-usaha melalui pelita dan SKB menteri agama. Perkembangan pesantren masih dapat terlihat sampai saat ini dengan semakin banyaknya pesantren sebagai bentuk eksistensi lembaga pendidikan khas Indonesia (indigenous).
DAFTAR PUSTAKA
As`ad, Aliy, Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta`lim Al-Muta`allim, tt.
Azra, Azyumardi, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998.
Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, 1984/1985.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1986.
Hamzah, Amir, Pembaharuan Pendidikan Dan Pengajaran Islam, Jakarta : Mulia Oftset, 1989.
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Islam dan Umum, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Jakarta : Departemen Agama, 2005.
Nizar, Samsul, et al, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam Di Nusantara, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Prsodjo, Sujdoko, dkk., Profil Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1982.
Suwito, et. al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2005.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. 5, Bandung : Rosda Karya, 2005.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.




[1] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam Di Nusantara, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 85-86.
[2] Lihat Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hal. 5.
[3] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1986) hal. 18, dalam Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta : Departemen Agama, 2005), hal. 95.
[4] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal. 87.
[5] Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta : Departemen Agama, 2005), hal. 95.
[6] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal. 87.
[7] Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah...., hal. 96.
[8] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal.110.
[9] Lihat pada Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, 1984/1985, hal. 668.
[10] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal. 88-89.
[11] Ibid, hal. 89-90.
[12] Ibid, hal. 90, lebih lanjut dapat dilihat pada M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hal. 248.
[13] Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah...., hal. 46.
[14] Ibid, hal. 91.  pesantren sebagai lembaga Indigenous, Azyumardi Azra membahasnya dalam buku Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 87.
[15] Ibid, hal. 93-94.
[16] Selengkapnya lihat pada Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan Dan Pengajaran Islam, (Jakarta : Mulia Oftset, 1989), hal. 26.
[17] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal. 94-95.
[18]Suwito, et. al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 272. Juga dapat dilihat pada Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta : LP3ES, 1994), hal. 55.
[19] Aliy As`ad, Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta`lim Al-Muta`allim, tt. hal.vii, sebagaimana dikutip oleh Suwito, et. al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 273.
[20]Abuddin Nata,  Keterangan Pada Kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual Pendidikan Islam II, tanggal 1 Mei 2000.
[21] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal. 95.
[22] Ibid, hal. 96. Lihat pada Sujdoko Prsodjo, dkk., Profil Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1982), hal. 83. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. 5, (Bandung : Rosda Karya, 2005), hal. 193.
[23] Lihat pada Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 10.
[24] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial..., hal. 97.
[25] Ibid, hal. 97-99.