SEJARAH PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN
ISLAM PESANTREN DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan aktifitas yang sangat penting bagi manusia. Bermacam jenis lembaga
pendidikan didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, baik
lembaga yang bersifat formal maupun nonformal, baik yang didirikan oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat dalam payung yayasan organisasi masyarakat. Sejarah
mencatat, bahwa kemerdekaan negara Indonesia merdeka karena peran dari para
pemuda dan generasi bangsa yang telah terdidik. Lembaga pendidikan terdiri dari
atas lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan Islam. Masing-masing
lembaga memiliki jenjang pendidikan dari pendidikan dasar, menengah, hingga
perguruan tinggi.
Lembaga pendidikan
Islam dapat berupa lembaga pesantren, lembaga pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat muslim. Pesantren juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam
proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dengan terlibat langsung dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Mastuhu,
pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk
memahami, menhayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Selanjutnya Ahmad Syafi`i Noer
mengemukakan bahwa pesantren merupakan tempat penampungan sederhana bagi
pelajar yang jauh dari negeri asalnya, dan merupakan tempat tinggal kyai
bersama para santrinya yang bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.[1]
Makalah ini akan membahas tentang apa itu pesantren, sejarah dan perkembangan
lembaga pesantren di Indonesia hingga tujuan dan karakteristiknya, serta
perkembangan lembaga pendidikan Islam pesantren pada masa penjajahan hingga
masa kini.
PEMBAHASAN
·
Pengertian Pesantren
Secara etimologi
kata pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan “pe” dan akhiran “an”
berarti tempat tinggal santri. Asal kata pesantren juga dianggap gabungan dari
kata sant (manusia baik) dengan suku kata ira
(suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat
pendidikan manusia baik-baik.[2]
Profesor John
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, artinya guru
mengaji, ada juga yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang yang tahu
buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[3] CC
Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastni yang
dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[4]
Istilah pesantren masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuk dan berkembangnya
agama Hindu, sebelum datangnya Islam. Hal itu berarti metode dan kurikulum di
pesantren banyak diwarnai ajaran non Islam. Setelah berkembangnya Islam di
Indonesia, maka lembaga pesantren itu mendapat isi ajaran Islam.[5] Di
luar pulau Jawa lembaga pendidikan pesantren ini disebut dengan nama lain
seperti surau di Sumatra Barat, Rangkang dari Dayah di Aceh, dan pondok di
daerah lain.
Secara terminologi
Steenbrink menjelaskan bahwa pendidikan pesantren dan ditinjau dari bentuk dan
sistemnya berasal dari India. Sebelum adanya proses penyebaran Islam di
Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan
pengajaran agama Hindu di Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di
Jawa sistem tersebut diambil alih oleh Islam. Dengan kata lain pesantren dapat
didefinisikan dengan lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki kekhasan
tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan dan pengajaran agama. Dari
segi historisnya pesantren dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan
sebelum Islam datang dan masuk ke Indonesia, sebab lembaga yang serupa sudah
ada semenjak Hindu dan Budha.[6]
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tiga ciri umum yaitu : kyai sebagai
figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat
kegiatan serta adanya kegiatan pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui
sistem pangajian kitab dengan metode wetonan, sorogan, dan musyawarah, yang
kini sebagian telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah. Adapun
ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik dan suasana
keagamaan yang mendalam. Menurut Marwan Sarijo, pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam yang memebrikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan
sistem bandongan, sorogan dan wetonan. Para santri disediakan pondokan atau
merupakan santri yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria
pendidikan non formal dan menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah
dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kebutuhan
masyarakat.
Menurut KH. Ali
Maksum pesantren merupakan asrama tempat tinggal para kyai beserta keluarga
dengan santri yang mengaji di tempat yang disediakan. Pengajian yang dimaksud
adalah berbahasa Arab, baik yang berupa
karangan-karangan lama ataupun buah karya pengarang baru. Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren memiliki misi yang sangat luas dan kompleks, yang terutama
dan paling mendasar adalah pemahaman terhadap agama dan dakwah Islamiyah.[7]
Karakteristik
lembaga pendidikan pesantren dan unsur-unsur kelembagaannya tidak dapat
dipisahkan dari sistem kultural, dan tidak dapat pula diletakkan pada semua
pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren, sebab setiap pesantren
memiliki keunikan masing-masing. Pesantren bukan semacam sekolah atau madrasah
walaupun dalam lingkungan pesantren sekarang ini telah banyak didirikan
unit-unit pendidikan klasikal dan kursus-kursus.[8]
·
Sejarah dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Pesantren di Indonesia
Mastuhu menyatakan
bahwa, kapan pesantren pertama kali didirikan, dimana, dan oleh siapa, tidaklah
dapat diperoleh keterangan yang pasti. Menurut data dari Departemen Agama pada
tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada
tahun 1062 atas nama pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura. Namun seperti
pernyataan Mastuhu, hal tersebut
diragukan, tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang usianya lebih tua, dan
dalam buku departemen agama tersebut banyak dicantumkan tanpa tahun pendirian,
jadi ada kemungkinan mereka memiliki usia lebih tua.[9]
Jika dicermati
sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisional di Jawa dan Madura
lebih dikenal dengan sebutan Pondok. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq¸
yang berarti hotel, asrama, pesanggrahan atau penginapan bagi para musafir,
sehingga pondok diartikan dengan tempat murid-murid belajar mengaji atau
disebut tempat belajar agama Islam.
Ada dua pendapat
yang berbeda mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya lembaga
pendidikan pesantren di Indonesia.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren berakar pada
tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki
kaitan yang erat dengan pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini
berdasarkan fakta, penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya dalam bentuk
kegiatan tarekat, indikatornya adalah terbentuknya kelompok-kelompok
organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid
tertentu. Pemimpin tarekat disebut kyai, khalifah atau mursyid.
Pada beberapa tarekat ada yang mewajibkan pengikutnyan untuk melaksanakan suluk
selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tingggal bersama anggota tarekat
dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah dengan bimbingan kyai. Para
kyai menyediakan ruang khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak
di kiri kanan masjid. Selain mengerjakan amalan-amalan tarekat, para
pengikut juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan agama Islam. Aktifitas yang diikuti oleh pengikut tarekat kemudian
dinamakan pengajian. Perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga pesantren.
Kedua, pesantren yang ada saat ini pada mulanya pengambilalihan
dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara.
Dasarnya pada fakta bahasa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga
pesantren sudah ada di negara ini. Pendirian pesantren pada masa itu
dimaksudkan untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina
kader-kader Hindu. Tradisi penghormatan murid kepada guru yang pola hubungannya
tidak didasarkan pada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dan tradisi
Hindu. Fakta lain menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar pada tradisi Islam
adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.
Lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu
dan Budha, seperti di India, Myanmar, dan Thailand[10]
Menurut Wahjoetomo,
pesantren yang berdiri di tanah air, khususnya pulau Jawa dimulai dan dibawa
oleh Wali songo, pondok pesantren yang pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana
Maghribi atau Syekh Maulana Malik Ibrahim (w. 12 Rabiul Awal 822 H/April 1419
M) di Gresik. Data dari Departemen Agama tahun 1984/1985 jumlah pesantren pada
abad ke-16 ada 613 buah, akan tetapi tidak diketahui tahun berapa pesantren itu
didirikan. Berdasarkan laporan pemerintah Hindia Belanda tahun 1831 ada 1.853
lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan jumlah murid 16.556, laporan
tersebut belum dipisahkan antara lembaga pengajian dan lembaga pesantren.
Setelah ada laporan penelitian Van Den Berg tahun 1885 diketahui ada 14.929
lembaga pesantren.
Masa berikutnya,
lembaga pesantren terus berkembang dari segi jumlah, sistem dan materi yang
diajarkan. Tahun 1910 pesantren Denanayar, Jombang mulai membuka pondok khusus
santri perempuan, kemudian tahun 1920-an di Jawa Timur seperti Tebu Ireng di
Jombang, Pesantren Singosari di Malang, mulai mengajarkan ilmu umum seperti
bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung ilmu bumi dan sejarah.[11]
·
Tujuan Lembaga Pendidikan Pesantren dan Karakteristiknya
Setiap lembaga
pendidikan tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pendidikannya. Demikian juga lembaga pendidikan pesantren memiliki tujuan
pendidikan yang hendak dicapai. Menurut M. Arfin tujuan didirikannya pondok
pesantren, terbagi menjadi dua hal :
1)
Tujuan Khusus, mempersiapkan santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam
masyarakat.
2)
Tujuan Umum, membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh
Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.[12]
Dalam perjalanan
sejarahnya pesantren merupakan lembaga pendidikan non formal swasta murni yang
tidak mengajarkan ilmu umum. Seluruh program pendidikan disusun sendiri dan
umumnya bebas dari ketentuan formal. Program pendidikannya mengandung proses
pendidikan formal yang berjalan sepanjang hari di bawah pengawasan atau
monitoring kyai.
Kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia
mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigenous
religious and social institution) dalam lembaga pendidikan Islam di
Indonesia.[13]
Pesantren sebagai lembaga indigenous, oleh Azyumardi Azra dalam bukunya
Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam dinyatakan bahwa “pesantren
memiliki akar sosiohistoris yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu
menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia kelimuan masyarakatnya,
sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan”.[14]
Dengan kata lain lembaga pesantren dapat bertahan karena ia tidak hanya identik
dengan makna keislaman tetapi karakter eksistensialnya yang mengandung arti
keaslian Indonesia. Sebagai lembaga indigenous pesantren muncul dan
berkembang dari pengalaman sosiologi masyarakat dan lingkungannya.
Penyelenggaraan
pendidikan serta pengajaran di pesantren berdasarkan atas ajaran Islam dengan
tujuan ibadah untuk mendapatkan ridha Allah swt, waktu belajar tidak dibatasi,
santri dididik menjadi mukmin sejati, integritas pribadi yang kukuh, mandiri
dan mempunyai kualitas intelektual, dengan harapan santri dapat menjadi panutan
dalam masyarakat, menyebarluaskan citra nilai budaya pesantren dengan penuh
keikhlasan, dan menyiarkan dakwah Islam.
Adapun
prinsip-prinsip pendidikan yang diterapkan adalah (1) kebijaksanaan, (2) bebas
terpimpin, (3) mandiri, (4) kebersamaan, (5) hubungan guru, (6) ilmu
pengetahuan diperoleh dengan kemampuan akal dan kesucian hati serta berkah
kyai, (7) kemampuan mengatur diri sendiri, (8) sederhana, (9) metode pengajaran
yang luas, (10) ibadah. Ada lima elemen dasar pesantren yaitu: pondok, masjid,
santri, kyai, dan pengajaran kitab-kitab klasik, hal itu yang membedakan dengan
lembaga pendidikan lainnya, berikut adalah penjelasannya:
1.
Pondok. Merupakan asrama tempat bagi para santri utnuk tinggal bersama dan
belajar dibawah bimbingan kyai. Umumnya kompleks pesantren dikelilingi dengan
pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum, namun ada
pula yang tidak berbatas. Bangunan setiap pondok berbeda-beda baik kualitas
ataupun kelengkapannya, ada yang didirikan atas biaya kyainya, gotong royong
santri dan sumbangan para warga masyarakat atau sumbangan dan pemerintah. Dalam
tradisi pesantren ada kesamaan umum yaitu kyai memimpin pesantren mempunyai
wewenang dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.
2.
Masjid. Masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren, sebab
ia adalah tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri
khususnya dalam tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan
kegiatan kemasyarakatan. Dalam lingkungan pesantren, bangunan masjid terletak
di dekat kediaman kyai dan berada di tengah-tengah kompleks pesantren.
3.
Pengajaran Kitab-kitab Klasik, dengan menggunakan metode yang lazim
digunakan dalam proses pembelajaran sebagai berikut :[15]
a.
Metode sorogan, yaitu proses pembelajaran yang mana kyai hanya
menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat
dasar. Pelaksanaan metode sorogan yaitu santri menyodorkan sebuah kitab
dihadapan kyai, kemudian kyai membacakan bagian dari kitab tersebut selanjutnya
santri mengulangi bacaan dengan bimbingan kyai sampai santri benar-brnar
menguasai materi, setelah itu barulah ditambahkan materi yang selanjutnya,
sedangkan yang belum harus mengulangi.
b.
Metode wetonan dan bandongan, metode pembelajaran dengan
menggunakan metode ceramah (interractive lecturing). Pada metode ini
kyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang
sulit dalam suatu kitab, para santri menyimak bacaan kyai sambil membuat
catatan penjelas di bagian pinggir kitab.
c.
Metode musyawarah, merupakan sistem belajar dalam bentuk seminar guna
membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran santri, yaitu santri
aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku-buku yang telah ditentukan kyainya.
Kyai hanya memberikan bimbingan seperlunya, adapun bidang ilmu dari kitab yang
diajarkan di pesantren adalah : nahwu (tata bahasa Arab), sharaf (sistem bentuk
kata Arab), fiqih, ushul fiqih, hadis, tauhid, tasawuf, juga cabang ilmu agama
misalnya balaghah dan tarikh. Kitab-kitab yang diajarkan
berdasarkan pada tingkat-tingkat santri, untuk tingkat dasar diajarkan susunan
bahasanya sederhana, tingkat menengah diajarkan kitab yang agak rumit
bahasanya, pada tingkat tinggi atau takhasus atau spesialisasi diberikan
kitab yang tebal dan rumit susunan bahasanya.[16]
4.
Santri. Santri adalah peserta didik yang tinggal di pesantren, santri yang
belajar dalam satu pondok pesantren memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan
yang baik antara sesama santri maupun antara santri dan kyai. Situasi yang
berkembang diantara para santri belajar hidup bermasyarakat, bernegoisasi,
memimpin, dan dipimpin, selain itu juga harus bersedia menjalankan tugas apapun
yang diberikan kyai. Jumlah santir dapat dijadikan tolok ukur maju mundurnya pesantren,
semakin banyak santri yang ada pada sebuah pesantren maka dinilai semakin baik,
demikian sebaliknya. Santri ada dua macam yaitu santi mukim dan kalong. Santri
mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal dalam pondok yang
disediakan pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di
luar kompleks pesantren baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah penduduk
sekitar di lokasi pesantren.[17]
5.
Kyai. Adalah istilah yang bersal dari Jawa, yang digunakan untuk tiga jenis
gelar yang saling berbeda: pertama, sebagai gelar kehormatan bagi
barang-barang yang dianggap keramat, seperti kyai Garuda Kencana yang dipakai
untuk kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta, kedua gelar kehormatan
bagi orang tua pada umunya, ketiga gelar yang diberikan masyarakat
kepada orang agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan
mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.[18]
Sedangkan Aliy As`ad menambahkan bahwa gelar kyai digunakan dalam tiga dimensi
: pertama kyai ulama` seperti Kyai Hasyim Asy`ari, Kyai Mahfudz
Al-Termasi, dan lainnya, kedua kyai sebutan artinya sebutan kepada yang
mempunyai kelebihan, juga memiliki pendukung yang mengakui kelebihannya, ketiga
yakni kyai aku-akuan yang sebenarnya tidak memiliki kelebihan apa-apa.[19] Abuddin
Nata menyatakan bahwa kyai secara kelimuan memiliki ciri-ciri antara lain :
menguasai ilmu agama secara mendalam, keilmuan yang dimiliki telah mendapat
pengakuan dari masyarakat sekelilingnya, menguasai kitab kuning dengan matang,
taat beribadah kepada Allah swt, mempunyai kemandirian dalam bersikap, tidak
mau “mendatangi” penguasa, mempunyai geneologi kekyaian, memperoleh ilham dari
Allah swt. Bila memenuhi kriteria tersebut, layaklah seseorang itu disebut kyai
dalam pengertian yang lazim.[20]
Adapun kekhasan
pesantren dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya adalah para santri
atau peserta didik tinggal bersama dengan kyai atau guru mereka dalam satu
kompleks tertentu yang mandiri, sehingga dapat menumbuhkan ciri-ciri khas
pesantren seperti : adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, santri
taat dan patuh kepada kyainya, para santri hidup secara mandiri dan sederhana,
adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan, dan para santri
terlatih hidup berdisiplin dan terikat.[21]
Macam-macam pola
perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan pesantren diantaranya sebagai berikut:
1)
Pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai, ini adalah pesantren
sangat sederhana, masjid dan rumah kyai digunakan sebagai tempat mengajar,
sedangkan santri berasal dari sekitar pesantren.
2)
Pesantren terdiri dari masjid, rumah kyai, dan pondok atau asrama,
madrasah, pola ini telah dilengkapi pondok yang disediakan bagi para santri
yang berasal dari daerah lain.
3)
Pesantren yang didirikan dan masjid, rumah kyai, pondok atau asrama. Pola
ini memakai sistem klasikal, santri mendapatkan pelajaran di madrasah selain
itu juga belajar mengaji, mengikuti pengajaran yang diberikan oleh kyai di
pondok.
4)
Pesantren yang telah berubah kelembagaannya, terdiri dari masjid, rumah
kyai, pondok atau asrama, madrasah dan tempat ketrampilan. Pola ini lengkap
dengan tempat ketrampilan agar santri terampil dengan pekerjaan yang sesuai
dengan sosial kemasyarakatannya misal pertanian, peternakan dan menjahit.
5)
Pesantren seperti pola yang keempat, namun ditambahkan universitas, gedung
pertemuan,olah raga dan sekolah umum. Pola ini sebagai tanda lembaga pendidikan
tersebut telah berkembang dan bisa dikatakan sebagai pesantren modern.[22]
·
Pesantren Pada Masa Penjajahan dan
Perkembangannya
Pada masa kolonial
Belanda pesantren yang terkenal adalah Pesantren Tebu Ireng Jombang, Wonokoyo
Probolinggo, Siwalan Panji Sidoarjo, Lirboyo Kediri, Tremas Pacitan, Tegalsari,
Gontor Ponorogo, Jamseran Solo, Manba`ul Ulum Solo, Lasem, Al-Muanwir
Yogyakarta, Mubarak, Al-Khairiyah Banten, Suryalaya Tasikmalaya, adapun yang
diluar Jawa Thawalib Sumatera, MTI Candung Sumatera Barat, Masrurah Tengku
Elaji Hasan Aceh, Masrurah Medan, Tanjung Sungayang Batu Sangkar, Nurul Iman
Jambi, Al-Qur`aniyah Palembang, Syamsul Huda Jembrana Bali, Nahdatul Wathan
Lombok, Al-Khairat Palu Sulawesi Tengah, As`Adiyah Wojo Sulsel, Syekh Muhammad
Al-Banjari Martapawa Kalimantan Selatan.[23]
Pesantren
berkembang pesat pada masa ini disebabkan, para ulama dan kyai mempunyai
kedudukan yang kukuh di lingkungan kerajaan dan kraton sebagai penasehat raja
atau sultan. Pembinaan pesantren mendapat perhatian besar dari para raja dan
sultan, bahkan beberapa pesantren didirikan atas dukungan kraton seperti pesantren
Tegalsari Jawa Timur yang diprakarsai Susuhunan Pakubuworo II, kebutuhan umat
Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman semakin
meningkat, sementara sekolah Belanda saat itu hanya diperuntukkan bagi kalangan
tertentu saja, hubungan transformasi antara Indonesia dan Mekkah semakin lancar
sehingga memudahkan pemuda Islam Indonesia menuntut ilmu ke Mekkah, kemudian
sekembalinya ke tanah air mereka biasanya mendirikan pesantren di daerah
asalnya dengan menerapkan cara belajar seperti yang dijumpai di Mekkah. Pada
masa ini khas dari pesantren itu karena disiplin ilmu yang diajarkan oelh kyai,
ada yang khusus mengajarkan disiplin ilmu hadis dan fiqih, ilmu bahasa Arab,
ilmu tafsir, tasawuf dan lainnya.[24]
Perubahan penting
dalam kehidupan pesantren adalah dimasukkannya sistem madrasah. Ini merupakan
imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah yang memakai sistem pendidikan
Barat. Dengan sistem madrasah, pesantren mencapai kemajuan yang terlihat dan
bertambahnya jumlah pesantren. Tahun 1940an sudah terdapat beberapa pesantren
yang menyelenggarakan jenis sekolah agama yang dikembangkan pemerintah. Masuknya sistem madrasah maka jenjang
pendidikan pesantren juga ikut menyesuaikan diri dari jenjang Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, dan Aliyah. Pesantren juga mengalami perubahan kurikulum dengan
penambahan sejumlah mata pelajaran non agama, meskipun kitab-kitab Islam klasik
dengan metode sorogan dan wetonan tetap dipertahankan.
Lahirnya madrasah
wajib belajar (MWB) tahun 1958/1959 juga berpengaruh pada pesantren, ia
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah negeri. Tahun 1965 di
Yogyakarta berdasarkan rumusan seminar pondok pesantren disepakati perlunya
memasukkan pendidikan dan pelajaran ketrampilan pada pesantren seperti
pertukangan, pertanian, peternakan dan ketrampilan lainnya. Pada masa orde
baru, pembinaan pesantren telah dilakukan oleh pemerintah melalui proyek
pembangunan lima tahunan (pelita), sejak pelita I dan pembinaan pesantren dan
berbagai instansi terkait, dan tingkat pemerintah pusat sampai ke pemerintah
daerah. Tahun 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengembangan pesantren yaitu
mendirikan pondok pesantren model baru baik oleh masyarakat maupun pemerintah
dengan nama pondok karya pembangunan (PKP), pondok modern, Islamic Centre
atau pondok pesantren pembangunan. Pondok pesantren ini mengalami kesulitan
dalam pembinaan karena tiadanya kyai yang karismatik yang dapat memberikan
bimbingan dan teladan kepada santri-santrinya.
Perkembangan
selanjutnya pesantren mulai mendidikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah
umumyang ditetapkan pemerintah, bahkan madrasah yang dibina pesantren juga
menyesuaikan diri dengan pola madrasah yang berdasarkan surat keputusan bersama
(SKB) menteri agama, menteri dalam negeri dan menteri pendidikan dan kebudayaan
nomer 3 tahun 1975 yang menetapakan bahwa “mata pelajaran umum di madrasah
sekurang-kurangnya harus tujuh puluh persen dan seluruh kurikulum”. Namun
dengan alasan bahwa kurikulum yang ditetepkan pemerintah tidak sesuai dengan
jasa dan tujuan pesantren, maka madrasah yang di pesantren menetapkan
kurikulumnya sendiri seperti pesantren modern Gontor, pesantren Pabelan di
Muntilan dan lainnya. ada juga pesantren yang mendirikan perguruan tinggi, ada
yanghanya mendirikan fakultas-fakultas agama yang berkiblat ke Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), ada juga yang mendirikan universitas dengan fakultas umum
dan agama seperti yang dilakukan oleh pesantren As-Syafi`iyah dan pesantren
At-Tahiriyah di Jakarta. Zaman orde baru pemerintah Indonesia melalui
depertemen agama, telah berusaha membantu membina dan mengembangkan pesantren.
Berdasarkan data departemen agama tahun 1988/1989 di setiap propinsi di
Indonesia, kecuali Timor-Timur telah ada lembaga pesantren, jumlah pesantren
6.631 buah dengan 958.670 orang santri dan 33.993 orang kyai. Jumlah pesantren
pada tiap provinsi bervariasi antara 3-2479 buah.[25]
KESIMPULAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
mempunyai tiga ciri umum yaitu : kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai
tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan serta adanya kegiatan
pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pangajian kitab dengan
metode wetonan, sorogan, dan musyawarah, yang kini sebagian telah berkembang
dengan sistem klasikal atau madrasah. Adapun ciri khususnya adalah adanya
kepemimpinan yang kharismatik dan suasana keagamaan yang mendalam.
Dalam perkembangan asal usul pesantren di Indonesia ada
dua pendapat : Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren berakar
pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren
memiliki kaitan yang erat dengan pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Kedua,
pesantren yang ada saat ini pada mulanya pengambilalihan dari sistem pesantren
yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara.
Lembaga pendidikan pesantren memiliki tujuan pendidikan
yang hendak dicapai. Menurut M. Arfin tujuan didirikannya pondok pesantren,
terbagi menjadi dua hal :
ü Tujuan Khusus, mempersiapkan santri untuk menjadi orang
alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta
mengamalkan dalam masyarakat.
ü Tujuan Umum, membimbing anak didik untuk menjadi manusia
yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh
Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya
Pada masa penjajahan Belanda pesantren sudah didirikan,
kemudian dalam perkembangannya dimulai pada masa orde baru ada perhatian
pemerintah untuk membantu membina dan mengembangkan pesantren, dengan
usaha-usaha melalui pelita dan SKB menteri agama. Perkembangan pesantren masih
dapat terlihat sampai saat ini dengan semakin banyaknya pesantren sebagai
bentuk eksistensi lembaga pendidikan khas Indonesia (indigenous).
DAFTAR PUSTAKA
As`ad, Aliy, Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta`lim
Al-Muta`allim, tt.
Azra, Azyumardi, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi
Pondok-Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, 1984/1985.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1986.
Hamzah, Amir, Pembaharuan Pendidikan Dan Pengajaran
Islam, Jakarta : Mulia Oftset, 1989.
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Islam dan
Umum, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia Jakarta : Departemen Agama, 2005.
Nizar, Samsul, et al, Sejarah Sosial dan Dinamika
Intelektual: Pendidikan Islam Di Nusantara, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013.
Prsodjo, Sujdoko, dkk., Profil Pesantren, Jakarta
: LP3ES, 1982.
Suwito, et. al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
Jakarta : Kencana, 2005.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
cet. 5, Bandung : Rosda Karya, 2005.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta :
Gema Insani Press, 1997.
[1] Samsul Nizar, et al, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan
Islam Di Nusantara, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal.
85-86.
[3] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1986) hal. 18, dalam Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta : Departemen Agama, 2005), hal. 95.
[5] Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia (Jakarta : Departemen Agama, 2005), hal. 95.
[9] Lihat pada Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok
Pesantren Seluruh Indonesia, 1984/1985, hal. 668.
[12] Ibid, hal. 90, lebih lanjut dapat dilihat pada M.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1993), hal. 248.
[14] Ibid, hal. 91.
pesantren sebagai lembaga Indigenous, Azyumardi Azra membahasnya
dalam buku Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1998), hal. 87.
[16] Selengkapnya lihat pada Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan Dan
Pengajaran Islam, (Jakarta : Mulia Oftset, 1989), hal. 26.
[18]Suwito, et. al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta :
Kencana, 2005), hal. 272. Juga dapat dilihat pada Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta : LP3ES, 1994),
hal. 55.
[19] Aliy As`ad, Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta`lim Al-Muta`allim, tt.
hal.vii, sebagaimana dikutip oleh Suwito, et. al., Sejarah Sosial Pendidikan
Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 273.
[20]Abuddin Nata, Keterangan Pada Kuliah Sejarah Sosial dan Intelektual Pendidikan Islam II, tanggal 1 Mei 2000.
[22] Ibid, hal. 96. Lihat pada Sujdoko Prsodjo, dkk., Profil
Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1982), hal. 83. Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. 5, (Bandung : Rosda Karya, 2005),
hal. 193.
[23] Lihat pada Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994), hal. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar